Rekening Integritas

Kota-ku, Oktober 2015

Ada banyak istilah untuk yang satu ini. Di unitku menyebutnya sebagai MPN G2 (Modul Penerimaan Negara Generasi Kedua). Di unit lain menamainya billing system. Ada juga yang memberi istilah e-billing. Barangkali penggunaan beberapa istilah ini pula yang menjadi sebab sedikit ketegangan diawal implementasi. Bagaimana tidak? Ketika beberapa unitku mengajak unit lain untuk sama-sama bersinergi menggalakkan Sistem MPN G2, unit lain itu malah bilang: “Apa itu MPN G2?” Lho…!

Usut punya usut, unit itu ternyata menggunakan istilah lain yaitu billing system atau e-billing. Jadi, tidak usah menuduh mereka tidak tahu tentang MPN G2, karena memang yang mereka pahami adalah billing system atau e-billing.

Dan kini lega rasanya. Akhirnya, sistem MPN G2 atau billing system beroperasi penuh. Sistem existing telah dihentikan. Pemerintah sukses melakukan transformasi. Aku gembira karena turut serta dalam proses ini, meski hanya sekedar mengajari teman-teman instansi dan “mengejar-ngejar” mereka untuk segera menggunakan kode billing.

Ada banyak hal baik lantaran MPN G2 ini. Paling tidak bagi diriku. Skandal rekening itu tak lagi menghantuiku. Rekening itu telah ditutup, walau memang tak sepenuhnya karena MPN G2. Yang jelas, tak ada lagi rekening KPPN yang aku kelola. Semuanya sudah terpusat.

Sungguh, godaan rekening itu nyaris meluluhlantakkan integritas dan moralku. Syukurlah, Tuhan menyayangiku.

Sobat, apakah Kau sanggup membaca kisah tentang skandal rekening itu? Kuharap Kau dapat meluangkan waktu. Begini ceritanya.

***

Di Suatu Kota Pada Awal Tahun 2014

Adalah pekerjaanku menatausahakan penerimaan negara yang disetor nasabah ke bank setempat. Pihak bank adalah mitra kerjaku. Hari itu bank menerima setoran pajak, sore itu juga bank mengirimi aku, laporan beserta rekening koran penerimaan pajak. Setiap sore, tumpukan rekening koran diatas mejaku, menunggu aku periksa. Tak pernah ada yang terlewat, apalagi rekening persepsi. Aku selalu kroscek antara daftar nominatif dan rekening koran.

Dan hari ini, sepertinya ada yang janggal, ada setoran di rekening koran, tapi tidak ada di daftar nominatif.

“Ini angka apa, Ndi?”
“Mengapa ada saldo sepuluh milyar di rekening ini?”
“Ada SSP1)-nya, kah?”
Andi menggeleng.
Aku tak puas. Aku periksa tumpukan SSP, tapi tidak kutemukan bukti setor angka sepuluh milyar itu.
“Coba di file ADK2)?” tanyaku lagi.
“Gak ada, Pak,” jawab Andi, stafku.

Aku makin penasaran. Enam bulan sejak aku dilantik dan bekerja di Seksi Bank KPPN3), belum pernah kudapati rekening persepsi PBB4) tiba-tiba bersaldo milyaran tanpa ada bukti setor. Belum ada NTPN5), sama dengan belum masuk di rekening kas negara. Artinya uang ini berstatus kabur alias tidak jelas, tapi ada di rekening yang aku kelola.

“Kata Nafis, itu uang transferan dari Jakarta. Bank belum bisa menginput ke aplikasi MPN6) karena tidak ada data setoran. Mereka masih mencoba menghubungi perusahaan itu, minta bukti setoran PBB-nya, Pak..,” terang Andi.
“Sampai kapan?” tanyaku retoris.
Andi terdiam.
“Tapi, bagaimana perusahaan itu tahu nomor rekening PBB kita?” selidikku.
“Selama ini di blangko setoran PBB memang tercantum nomor rekening persepsi PBB, mungkin mereka tahu dari situ,” jelas Andi.

Ini hari kamis, mestinya besok, saldo rekening persepsi7) PBB dilimpahkan ke rekening BO III8), lalu dilimpahkan langsung ke BI 9). Tapi, karena uang itu belum sebagai penerimaan negara, proses limpah tidak bisa dilakukan. Saldo itu akan terus mengendap, entah sampai kapan.

“Jelas, bank yang untung… mereka bisa memanfaatkan dana tersebut melalui transaksi pasar uang antar bank overnight,” ujarku ke Andi.
“Saya kira tidak, Pak… karena rekening persepsi PBB telah terdaftar dalam TNP10) dan menjadi keuntungan pemerintah,” sanggah Andi.
“Paling tidak, saldo itu memperkuat likuiditas Bank,” kataku tak mau kalah.
“Sebaiknya jangan mengendap di rekening ini, terserah mau ditampung dimana. Setelah ada bukti SSP segera disetor ke kas negara.”
“Tolong sampaikan ke Nafis,” perintahku ke Andi.

***

Waktu berjalan santai dengan tetap mantap mengantar LKP-ku 11) yang tak pernah telat. Pantai, gunung, bukit dan seluruh tempat wisata, sudah aku ubek-ubek sampai ke sudut-sudutnya. Sesekali hari Minggu aku pergi ke Pasar Batu Permata, melihat-lihat cincin dan kalung intan berlian yang mungkin bagus untuk istriku. Belum ada yang cocok. Bukan barangnya, tapi harganya. SPG Toko Intan itu dengan entengnya menyebut angka seratus lima puluh juta untuk sebuah gelang bertatakan intan. Dan aku pulang hanya dengan bros murahan seharga lima ribu dan selembar kain khas seharga lima puluh lima ribu.

Sudah satu bulan, tak ada setoran PBB yang masuk ke rekening persepsi PBB. Padahal, menurut hitunganku, setoran tempo hari sudah bisa diselesaikan dan masuk ke kas negara. Kemana uang itu sekarang?

“Pak, ada telpon dari Bank,” kata Andi.

“Pak, saya sudah berusaha menghubungi pihak perusahaan di Jakarta. Ternyata orang-orang perusahaan itu sedang bermasalah dengan KPK. Bahkan, perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit. Ada di berita koran hari ini, Pak,” terang Pak Benny.

“PT. BBS, sebuah perusahaan tambang batu bara telah terbukti melakukan banyak pelanggaran. Merusak hutan dan menunggak kewajiban pada pemerintah. Selain itu, direksi perusahaan terbukti melakukan suap kepada pejabat setempat untuk memperoleh ijin penambangannya. Perusahaan juga dituntut pailit oleh beberapa rekanannya atas hutang-hutang yang belum mereka bayar. Dan Pengadilan memutuskan pailit”. Begitu bunyi satu paragraf di halaman pertama koran hari ini.

“Jadi, uang tersebut benar-benar tak bertuan, Pak.”
“Siang ini, saya ingin mengundang Bapak makan siang,” bujuk Pak Benny.

Pak Benny adalah asisten manajer operasional bank yang menjadi mitra kerjaku dalam urusan penatausahaan penerimaan negara. Seminggu setelah tiba di kota ini, aku datang menemuinya untuk berkenalan. Usianya sekitar empat puluh limaan. Dia bercerita kalau ia sebenarnya ditawari untuk jabatan kepala cabang, tapi ia menolak karena ingin tetap bersama keluarganya. Menurutku: ini bualan pertamanya kepadaku. Kulihat cincin berlian melingkar di jarinya. Ketika ia tahu aku membonceng Andi naik sepeda motor, bergegas ia menawariku makan siang dan mengantarku kembali ke kantor. Dan baru kali itu, aku naik Fortuner.

“Ndi.., Pak Benny ngajak saya makan siang. Tumben, ada apa ya…?”
“Yaa… paling silaturahmi saja, Pak.. barangkali mau koordinasi..,” jawab Andi.

Uang itu tak ada lagi yang menghaki. PT.BBS menganggap sudah menyetorkannya. Dan sekarang perusahaan itu tutup. Semua direksinya masuk penjara. Tak akan ada yang mengklaim. Lalu, aku apakan uang itu? Disetor ke kas negara? Apa akun-nya? Ini PBB sektor apa? Siapa pihak penyetornya? Semua berkecamuk di benakku.

***

Kunikmati sop iga sapi yang telah tersaji di depanku. Uhh…., benar-benar lezat. Di depanku duduk Pak Benny makan hidangan yang sama. Kami saling bercakap.

“Bagaimana kalau uang itu kita bagi saja, Pak..?” tutur Pak Benny.

Aku terkejut. Hampir saja tulang iga sapi yang aku gigit, loncat dari mulutku.

Anganku melayang. Tempo hari, ada proposal pembangunan masjid datang ke mejaku.

“Sampeyan mau nyumbang berapa untuk perbaikan jalan kampung?” tiba-tiba pertanyaan Pak RT terngiang di kepalaku.

“Yah.., Pak Amir kemarin meninggal dunia, kecelakaan. Sekarang anak-anaknya tidak ada lagi yang membiayai sekolah. Anaknya yang nomer satu sedang kuliah semester empat,” telepon istriku kemarin malam.

“Nah, ini kalung yang sangat bagus buat istri, cuman dua ratus juta, Pak..,” rayu SPG Toko Intan sambil menunjukkan kalung berlian, tiga minggu lalu.

Mendadak, daftar kebutuhan dan berbagai hal yang perlu pembiayaan tergambar jelas di depanku.

“Bagaimana, Pak? Desak Pak Benny mengagetkanku.
“Saya pikir dulu, saya mesti lapor Kepala Kantor.”
“Sebaiknya jangan, cukup kita saja yang tahu,” pinta Pak Benny
“Percayalah Pak, ini aman. Saya jamin. Ini saya bawakan rekening koran pengganti. “Transaksi setoran PBB sudah saya hapus.”
“Beri saya waktu berpikir,” jawabku.

***

Aku pandangi fotokopi rekening koran dengan saldo milyaran itu. Kini, ia tak bertuan, tak ada yang tahu. Kata aman dan jaminan dari Pak Benny, selalu terngiang dan makin membuat malamku gusar. Sepuluh milyar: lima milyar untukku, lima milyar untuk Pak Benny. Lima milyar…. bukan uang yang sedikit.

Bagaimana jika nanti ada pemeriksaan dan ketahuan?
Tapi, apanya juga yang mau diperiksa. Kalau pun arsip rekening koran tidak aku ganti, aku juga sudah tahu bagaimana menjawabnya. Apalagi, jika arsip rekening koran aku ganti dengan rekening koran ini, sudah pasti tak ada yang tahu. Aku memikirkan segala kemungkinan, A, B, C dan D. Yak.., ini memang aman, tak akan ada yang tahu. Kalimat itu makin menyihirku.

Bagaimana dengan Tuhan?
Bukankah uang itu milik perusahaan hitam yang telah merampok batu bara di wilayah ini. Toh, uang ini juga akan aku manfaatkan untuk membantu masyarakat. Aku berpikir keras menyusun fatwaku sendiri.
Tiba-tiba, dering handphone membuyarkan lamunanku.

“Yah, ibu divonis menderita kanker serviks stadium tiga dan harus menjalani kemoterapi. Ayah, siap-siap biayanya,” telepon istriku dengan nada sangat hati-hati.
“Berapa kali harus kemo?” Tanyaku dengan suara tercekat.
“Paling tidak sepuluh kali. Setelah itu dilanjutkan dengan radioterapi sampai dua puluh kali,” jawab istriku.

Aku googling tentang kanker serviks dan mulai berhitung soal biaya. Biaya satu kali kemoterapi sepuluh juta dan sekali radioterapi lima juta, total dua ratus juta untuk biaya berobat ibuku. Aku cek saldo tabunganku : sepuluh juta. Jadi, minus seratus lima puluh juta!

Tawaran Pak Benny tempo hari kembali terlintas. Tanpa sadar aku tatap kalender di dinding kamar dengan tulisan besar “Integritas”, salah satu nilai-nilai Kementerian Keuangan. Sungguh, aku tak tahu lagi artinya. Di pikiranku berkecamuk soal ibuku yang sakit dan bujukan Pak Benny. Aku menyerah, besok pagi aku harus menelepon Pak Benny.

***

“Tut tut tut…tut tut tut…”.
Sepuluh kali kuulangi, masih juga terdengar nada yang sama. Berkali-kali kucoba menelepon kantornya, selalu juga nada sibuk atau tak ada yang mengangkat.

Hari itu ada kabar Tim Kanwil akan datang melakukan pembinaan. Tentu, mereka akan memeriksa semua rekening koran yang aku tangani. Rupanya ada anggota Tim yang jeli.

“Pak, ini ada aliran dana di rekening persepsi PBB tanggal 20, lalu tanggal 21 didebet. Kenapa ini, Pak?” Tanya anggota Tim.

Aku sudah paham dengan pertanyaannya.
“Begini: informasi dari bank, ada transfer uang untuk setoran PBB, tetapi pihak bank belum bisa menginput ke modul MPN karena belum ada SSP-nya. Ada beberapa data yang harus mereka masukkan. Karena belum sebagai penerimaan negara, kami minta mereka mendebet uang itu agar tidak bersaldo di rekening persepsi PBB,” jelasku.
“Terus, apakah uang itu sudah diselesaikan, sudah disetor ke kas negara?” desak anggota Tim.
“Saya kira, itu bukan kewenangan saya untuk menanyakan,” kilahku.

Ada rasa menyesal aku menjawab begitu, padahal mestinya aku menjelaskan apa adanya. Tapi, egoku mengatakan tidak. Tidak mungkin juga aku menceritakan kalau Pak Benny ingin membagi uang itu denganku.

***

“Pak, ada tamu dari Bank,” kata Andi
“Siapa?”
“Pak Herman, stafnya Pak Benny,” jawab Andi.
“Jangan-jangan dia disuruh Pak Benny untuk mengundangku makan siang lagi,” candaanku ke Andi.

Wajahku sumringah. Aku pikir, Pak Benny memang pintar. Dia tidak mau berkomunikasi melalui handphone atau telepon kantor. Karena memang sekarang, jamannya penyadapan.

“Pak, perkenalkan, saya Herman, pengganti Pak Benny.”
“Loh.., Pak Benny diganti?” kataku kaget.
“Iya, Pak… maksud kedatangan saya adalah untuk bersilaturahmi.”
“Terkait tugas-tugas penatausahaan penerimaan negara, saya mohon diberikan petunjuk,” kata Pak Herman merendah.
“Terima kasih atas kedatangan Pak Herman.”
“Tapi, ngomong-ngomong dan kalau boleh tahu, ada apa dengan Pak Benny, Pak?” Tanyaku agak sungkan.
“Ada masalah dengan Pak Benny. Tim Pengawas Internal kami menemukan aliran dana mencurigakan masuk ke rekening pribadi Pak Benny. Ada dugaan, Pak Benny menggelapkan dana nasabah. Karena itu, pimpinan menggeser Pak Benny ke bagian administrasi dan beliau dalam proses pemecatan. Rekening pribadinya juga telah diblokir,” terang Pak Herman.

***

Tuhan memang punya cara unik untuk menyelamatkanku. Tuhan tahu aku masih lemah, aku belum bisa tegas mengatakan tidak. Aku mengambil rekening koran pengganti yang diserahkan Pak Benny saat makan siang tempo hari. Aku sulut api dan rekening koran itu terbakar menjadi abu. Sungguh ngeri, jika nasibku juga menjadi abu.

Malam itu, tak henti-hentinya mulutku mengucap syukur. Aku menelepon istriku dan menceritakan segalanya.

“Yah, tidak usah khawatir soal biaya pengobatan Ibu. Sejak enam bulan lalu, aku sudah daftarkan ibu ikut BPJS. Semua biaya akan ditanggung BPJS”.

***

“PT. BBS diduga telah melakukan tindak pidana money laundring. Untuk menyelamatkan asetnya, perusahaan penjarah batu bara tersebut telah mentransfer uangnya ke sejumlah rekening”. (Potongan paragraf kedua di satu kolom berita halaman kedua, di koran pagi)

“Oh…, jadi uang itu bukan setoran PBB?

***

Keterangan :
1) SSP : Surat Setoran Pajak ; 2) ADK : Arsip Data Komputer ; 3) KPPN : Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
4) PBB : Pajak Bumi dan Bangunan ; 5) NTPN : Nomor Transaksi Penerimaan Negara
6) MPN : Modul Penerimaan Negara ; 7) Rekening Persepsi : Rekening yang menampung penerimaan negara
8) BO III : Bank Operasional III (rekening khusus untuk menampung pelimpahan penerimaan PBB)
9) BI : Bank Indonesia ; 10)TNP : Treasury Notional Pooling ; 11) LKP : Laporan Kas Posisi