Kode Lokasi Setoran PFK (Perhitungan Pihak Ketiga)

Akhir-akhir ini saya prihatin dengan pemberitaan yang menyudutkan dan menyalahkan birokrat terkait pungli dan macam-macam yang berbau KKN.  Iya, itu memang ada. Saya harus akui. Tapi, itu hanya oknum. Tidak bisa di-gebyah uyah, menjadi stigma bahwa birokrat seperti itu.

Ketahuilah kawan, birokrat kita lebih banyak yang jujur. Tidak hanya itu, mereka juga canggih dan pintar. Ada banyak inovasi layanan yang mereka ciptakan. Diantaranya Sistem MPN G2 atau E-billing. Dan sebagai pendukung, mereka juga hadirkan aplikasi MPN Online atau dikenal juga sebagai Dashboard MPN G2.

MPN Online ini sudah diakui dan mendapat penghargaan. Beritanya ada disini: http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4888-inilah-top-35-inovasi-pelayanan-publik-2016 dan juga disini: http://www.djpbn.kemenkeu.go.id/portal/id/berita/berita/berita-nasional/2474-terpilih-sebagai-top-35,-perjalanan-dashboard-mpn-g2-dalam-lomba-inovasi-pelayanan-publik-tahun-2016-berlanjut.html.

Bagi saya, MPN Online ini memang sangat membantu. Bisa Anda baca di dua tulisan di blog ini. Yang ini: https://mpng2.wordpress.com/2016/09/16/data-mpn-online-span/ dan ini : https://mpng2.wordpress.com/2016/06/20/gangguan-pada-saat-proses-pembayaran-id-billing/.

Meski bukan tugas utama, setiap bulan KPPN membantu BPJS Kesehatan dan Taspen dengan menyediakan data pembanding Penerimaan PFK dari potongan SPM dan dari setoran langsung melalui Bank/Pos Persepsi. Karena sudah full MPN G2, untuk setoran PFK yang melalui bank/pos persepsi, KPPN setempat tidak memiliki datanya. Dan disinilah keberadaan MPN Online sangat membantu.

Pada MPN Online sudah disediakan menu Monitoring PFK. Anda bisa memasukkan rentang waktu disitu: tanggal awal sampai dengan tanggal akhir, serta lokasi. Pilihan lokasi berisi nama pemprov dan kabupaten/kota. Saat ini, pilihan lokasi dibatasi dalam satu provinsi. Jadi kalau masuk ke MPN Online menggunakan user KPPN Banjarmasin, maka yang terlihat disitu adalah Pemprov Kalsel dan seluruh kabupaten/kota di wilayah Kalsel. Sehingga, jika SKPD salah menginput kode lokasi pada saat pembuatan id billing, misalkan terinput lokasi di luar propinsi itu, ya sudah barang tentu tidak akan terlacak pada menu ini.

moni-pfk

Saya sendiri pernah mengalaminya. Biasanya kami melakukan rekonsiliasi data PFK, antara data KPPN dan data yang dikolek BPJS dari Pemda. Waktu itu ada selisih. Dan ternyata, ada satu SKPD yang salah input kode lokasi masuk ke kabupaten tetangga. Untung masih dalam satu propinsi. Sehingga saya masih bisa mengeceknya. Dan benar, memang masuk kesitu.

Karena saya merasa bahwa setoran itu salah lokasi, kemudian saya minta SKPD untuk mengajukan koreksi lokasi. Selanjutnya, kami teruskan permintaan koreksi lokasi itu kepada KPPN Khusus Penerimaan di Jakarta. Dan ternyata kode lokasi tidak bisa dilakukan koreksi karena tidak masuk dalam isi data COA (Chart of Accounts).

Saya lalu berpikir, kode lokasi ini sejatinya tidak jadi masalah kalau keliru. Ini tentu kesimpulan saya yang bisa Anda bantah.

Sebenarnya, dalam pengisian data lokasi pada saat pembuatan id billing (bukan data di registrasi awal) masih ada perdebatan. Artinya ada dua pendapat.

Pertama, mereka mendasarkan pada surat S-235/PB/2016 tanggal 12 Januari 2016. Disitu diberikan petunjuk bahwa untuk penyetoran PFK, Lokasi diisi dengan kode: 0151 (Jakarta Pusat). Terbitnya surat ini mendasarkan pada PMK 222/PMK.05/2014 sebagaimana telah diubah dengan PMK 212/PMK.05/2015. Saya sudah cek langsung PMK 212. Saya menemukan pada lampiran I contoh format SSBP untuk setoran PFK. Disitu lokasi diisi dengan 0151 (Jakarta Pusat). Sampai disini saya mulai paham. Menurut saya, kode lokasi dengan isian 0151 itu adalah jika menggunakan setoran manual menggunakan SSBP, bukan id billing. Dan bila menggunakan SSBP maka sudah tentu KPPN setempat akan punya datanya. Setidaknya dari OM SPAN dan dari berkas dokumen yang ia terima dari bank persepsi.

Pendapat kedua, lokasi untuk setoran PFK yang menggunakan id billing adalah lokasi sesuai dengan kota/kabupatennya. Jadi, kalau yang setor itu Dinas Rindu Kota Madiun, ya disitu diisi kode lokasi Provinsi Jatim dan kode Kota Madiun. Jadi bukan diisi dengan 0151.

Lalu, manakah yang benar? Saya tidak tahu.

Saya cenderung dengan pendapat kedua. Mengapa? KPPN akan mudah menyediakan data PFK melalui MPN Online, karena data itu masuk di wilayah sesuai kabupatennya. Dan KPPN setempat bisa melihatnya di Monitoring PFK. Coba kalo disitu diisi 0151, padahal kalau Anda login pada MPN Online dengan user KPPN Sragen, maka yang terlihat disitu hanya kabupaten/kota di wilayah Jateng. Kode lokasi  0151 tidak nampak.

Dan kalau pendapat kedua ini salah, saya kira juga tidak jadi masalah. Karena toh, data lokasi tidak masuk dalam COA. Jadi, tidak dikoreksi pun gakpapa. Menurut Anda?

***

Di Kala WP Salah Input Angka & Kemudian Teller Bank Salah Prosedur

Sudah beberapa kali jatuh korban. Akibat teller kurang waspada, tidak teliti dan menyalahi prosedur. Salah satunya: setoran 6 milyar dieksekusi, padahal maksud si WP sebenarnya cuman pengen setor 60 juta. Kesalahan awal memang dari WP yang keliru menginput nilai setoran. 60 juta, ditulis 6 milyar. Tanpa diperiksa kembali, cetakan billing disodorkan ke teller. Penyetoran pajak dilakukan melalui pemindahbukuan dari rekening tabungan WP.

Karena mungkin nasabah tetap dan sudah akrab, tanpa memeriksa nilai setoran, tanpa konfirmsi dan tidak mengecek saldo rekening tabungan WP, si teller langsung tancap gas melakukan eksekusi dan terbitlah bukti penerimaan negara (BPN) yang didalamnya tertera nomor transaksi penerimaan negara (NTPN). Ternyata, saldo rekening WP tidak mencukupi. Teller kaget, si WP juga terkejut setelah menyadari id billing yang ia buat ternyata bernilai 6 milyar.

Dan apeslah si teller. Karena tidak bisa dilakukan reversal (perbaikan dengan transaksi pengganti) atas transaksi yang sudah terbit NTPN. Kemudian, pihak bank yang menalangi setoran 6 milyar tersebut. Dengan harapan, setelah itu mereka akan mengurus pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak. Tentu mengurusnya tidak secepat teller mengeksekusi id billing. Butuh waktu dan kesabaran dari pihak bank. Dan sebenarnya kelebihan pajak dalam kasus diatas tidak akan dikembalikan langsung ke rekening bank tetapi ke rekening WP.  Aturan saat ini masih melihat bahwa pemohon pengembalian kelebihan pajak adalah WP, bukan pihak bank persepsi.

Karena itu, dalam hal seperti contoh diatas, pemerintah perlu memikirkan mekanisme pengembalian yang lebih sederhana dan perlu ada asumsi baru bahwa terjadinya kelebihan pajak tersebut juga tidak semata-mata karena kesalahan WP, tetapi juga andil pihak bank yang tidak mengikuti prosedur atau SOP dalam memberikan layanan penyetoran melalui sistem MPN G2 (ebilling).

Sebagai contoh: persis kasus diatas tetapi dengan nilai yang hanya jutaan. Celakanya, si WP menolak untuk membayar dan WP bukan nasabah bank itu. Padahal, id billing sudah dieksekusi. Tidak hanya menolak membayar, si WP juga enggan untuk membantu pihak bank mengurus pengembalian setoran pajak. Andai seperti itu, lalu bagaimana?

Karena itu, sekali lagi perlu segera dipikirkan solusi bila hal-hal seperti diatas terjadi. Tetapi, selalu saja : mencegah hal itu terjadi adalah tetap lebih baik daripada menyelesaikan kemudian.

Maka, pihak bank perlu mewanti-wanti agar petugas teller selalu berhati-hati, teliti dan mengikuti prosedur atau SOP dalam memberikan layanan penyetoran penerimaan negara sebagaimana gambar dibawah ini.

sop-mpn-g2-2

***

Jika Lupa User Password SIMPONI

Beberapa pihak datang ke kami karena tidak bisa login ke aplikasi SIMPONI. Pertama, ada yang lupa user password dan lupa email. Kedua, dia merasa tidak pernah mengganti user password, tetapi tidak bisa login. Ketiga, tidak bisa registrasi karena email telah digunakan, padahal menurut dia selama ini belum pernah mendaftar. Itu tentu berdasarkan pengakuan mereka. Saya tidak melakukan konfirmasi atas kebenaran informasi itu. Saya juga tidak tahu mau kroscek kemana.

Biasanya mereka datang ke kami karena pada hari itu harus segera menyelesaikan kewajiban melakukan penyetoran. Ada yang dari SKPD untuk penyetoran potongan IWP dan Taperum, ada perusahaan yang mau menyetor biaya pencadangan wilayah dan ada juga yang mau membayar royalti. Karena terkendala dalam pembuatan kode billing, datanglah mereka meminta bantuan kepada kami.

Untuk solusi kasus kedua, barangkali langkah pertama bisa ditempuh dengan mengecek email. Kalau belum dihapus, di inbox masih tersimpan email registrasi awal. Disitu ada user password. Coba gunakan user password itu.

Tetapi yang terjadi pada kami diatas adalah ternyata memang user password awal itu tidak bisa digunakan untuk login. Kami lakukan pengecekan di inbox juga tidak ditemukan email yang berisi perubahan password.

Maka kemudian, solusi atas kasus-kasus diatas adalah lakukan pendaftaran baru atau registrasi kembali dengan menggunakan email baru. Jadi sebelum melakukan pendaftaran ke SIMPONI, siapkan email yang aktif dan belum pernah digunakan untuk melakukan pendaftaran pada SIMPONI. Kalau penyetor dari perusahaan atau instansi dan email perusahaan atau instansi tersebut sudah digunakan, pakai email pribadi si petugas operator SIMPONI. Atau bikin saja email baru. Dan cantumkan email baru itu pada pengisian kolom email pada saat registrasi.

Sebenarnya solusi terbaiknya adalah dengan menghubungi SIMPONI Helpdesk, melalui e-mail: pusatlayanan.dja@kemenkeu.go.id atau telepon langsung ke: (021) 34357012 / (021) 34357014. Namun jika Anda merasa terburu-buru atau jawaban Helpdesk tidak seperti yang Anda harapkan, ya silakan gunakan solusi diatas: lakukan pendaftaran baru.

***

Akun 423116 untuk Biaya Pencadangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan

Dua orang, yang satu adalah perempuan cantik, ingin membuat kode billing setoran PNBP.  Kami disodori arsip/contoh SSBP dengan akun 423116. Kemudian saya baca: “Pembayaran Biaya Pencadangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan……. “ Itu adalah uraian pada kolom atau bagian “Untuk Keperluan pada surat setoran bukan pajak (SSBP).

Saya kira uraian itu mungkin akan mengecoh kita. Setidaknya, itu yang terjadi pada kami. Karena mereka mengenalkan diri sebagai pengusaha tambang (atau mungkin pegawai perusahaan itu), kami langsung berpikir:  ini menggunakan tipe billing SDA Non Migas.

Setelah berhasil mendaftar, login dan akan membuat kode billing, pada saat memilih jenis penerimaan, kami mengalami kesulitan, karena tidak ada uraian biaya pencadangan wilayah ataupun akun 423116. Lalu, saya berpikir, jangan-jangan akun ini ada pada tipe billing KL.

Tapi, ini yang kadang membuat saya jengkel. Waktu registrasi kami hanya memilih satu tipe billing. Sedihnya, kita tidak bisa menambahkan atau mengubah tipe billing. Harus registrasi dari awal. Barangkali, ini sekaligus sebagai usul kepada DJA. Mbok jangan begitu, mosok harus registrasi lagi. Tidak bisakah kita langsung mengubah atau menambah tipe billing. Saya usul: sebaiknya ditambahkan menu untuk menambah atau mengganti tipe billing. Saya tahu ada solusi dengan melapor atau mengajukan pertanyaan pada manajemen FAQ pada SIMPONI atau melalui helpdesk SIMPONI. Tapi itu harus menunggu dieksekusi, padahal kita butuhnya saat itu juga.

Akhirnya, saya lakukan registrasi kembali. Dan ini yang saya juga sebal, harus pakai email yang tidak boleh sama dengan yang tadi, padahal untuk pengguna yang sama. Hanya karena kurang atau salah milih tipe billing, jadi terpaksa deh bikin email baru atau pakai email lain yang belum pernah digunakan untuk mendaftar.

Saya ikuti saja apa maunya aplikasi. Setelah berhasil regisrasi, saya login dan mencoba membuat kode billing. Disana ada pilihan kelompok PNBP:  fungsional atau umum. Saya masih saja berpikiran akun ini hanya milik Kementerian ESDM, jadi saya pilih fungsional. Ternyata tidak ada juga akun itu. Dan setelah saya ubah pilihan kelompok PNBP menjadi umum, barulah nongol akun 423116. Anda tahu apa uraiannya? Ini nih: Pendapatan Penjualan Informasi, Penerbitan, Film, Survey, Pemetaan dan Hasil Cetakan Lainnya.

Lalu, bagaimana bisa dipakai untuk biaya pencadangan wilayah ijin usaha pertambangan?

Saya coba browsing. Saya dapati  Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian lzin Pertambangan Skala Kecil. Di dalamnya terdapat kalimat begini: Membayar biaya pencadangan wilayah kepada Kementerian ESDM pada Bank Indonesia dengan Kode Rekening 423116. Nah…!

 ***

Data MPN Online & SPAN

Pemerintah kita memang canggih. Menit itu ada uang masuk ke rekening kas negara, saat itu pula kita bisa memonitornya melalui satu aplikasi berbasis web. Ya, Dashboard MPN G2 atau dikenal juga sebagai MPN Online. Tentu ada user password yang digunakan untuk login sebagaimana umumnya aplikasi lainnya. Saat ini masih terbatas KPPN dan Kanwil DJPBN yang diberi hak akses.

Menu utamanya adalah monitoring data transaksi dan pencarian data. Dalam beberapa hal, aplikasi ini sangat membantu KPPN dalam menyelesaikan beberapa laporan. Tetapi, aplikasi ini bukan sistem utama. Aplikasi yang terintegrasi yang digunakan dalam pelaksanaan APBN adalah Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), yang mencakup pengelolaan pengeluaran dan penerimaan negara.

Sehingga, setiap hari data penerimaan yang terlihat pada MPN Online itu akan dilakukan proses interface di aplikasi SPAN. Intinya, SPAN melakukan penatausahaan dan pembukuan atas data setoran penerimaan negara. Dengan demikian, output akhir berupa laporan penerimaan negara dihasilkan dari aplikasi SPAN.

Jadi, antara aplikasi MPN Online dengan SPAN memang tidak terhubung. Sampai saat ini, kira-kira begitu kesimpulan saya.

Pada mulanya saya meyakini bahwa data yang ada dalam MPN Online dan SPAN pasti sama. Dan memang harus sama. Saya kira, semua pihak yang berwenang atas kedua aplikasi tersebut terus menjaga agar data-data khususnya data penerimaan negara di keduanya tetap sama.

Akan tetapi, lagi-lagi aplikasi itu buatan manusia yang tak luput dari faktor-faktor yang bisa menyebabkan deviasi data. Belakangan, keyakinan saya itu berubah. Ternyata memang bisa beda. Bagaimana bisa begitu? Saya tidak tahu. Yang terpenting sekarang adalah penjagaan atas kesamaan data itu harus terus dikawal, terserah bagaimana caranya.

 ***

 

Monitoring & Evaluasi Kepatuhan Bank/Pos Persepsi Atas Layanan MPN G2

Bila Anda melakukan kerjasama bisnis dengan rekan Anda, apa yang akan Anda lakukan setelah kontrak ditandatangani? Tentu Anda akan mengamati apakah bisnis itu berjalan bagus. Anda juga tidak akan melulu mengandalkan laporan dari rekan bisnis, karena Anda perlu tahu apakah rekan bisnis Anda patuh terhadap kontrak perjanjian. Kontrak biasanya memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Terkadang pada posisi tertentu, Anda berhak dan diikat kontrak untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap rekan bisnis Anda.

Dalam layanan MPN G2, ada kontrak antara pemerintah dan bank/pos persepsi. Masing-masing punya hak dan kewajiban. Dulu, dalam pelaksanaan MPN G1 monev dilakukan secara berkala oleh Kanwil DJPBN dan KPPN yang juga melibatkan pihak DJP dan DJBC. Tujuannya adalah memastikan poin-poin dalam perjanjian telah dilaksanakan dengan baik oleh pihak bank/pos persepsi.

Bagaimana teknis monev untuk layanan MPN G2?

Saya kira tidak jauh berbeda dengan mekanisme yang telah diatur dalam monev pada saat masih MPN G1. Tapi, saya kira akan ada dua jenis monev.

Pertama, monev terhadap kantor pusat bank/pos persepsi. Ini dalam kaitannya dengan tugas kantor pusat bank/pos persepsi dalam menyampaikan laporan harian penerimaan (LHP) dan ketepatan pelimpahan serta kepatuhan penyetoran denda atas sanksi.

Kedua, monev terhadap kantor bank/pos persepsi di daerah. Saya kira hal ini lebih kepada monev terhadap pemenuhan hak-hak penyetor. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik, saya sarikan beberapa hak penyetor dalam layanan MPN G2, yaitu:

  • Hak untuk mendapat pelayanan gratis (meski bukan nasabah dan berapa pun nilai setorannya).
  • Hak untuk mendapat konfirmasi (pertanyaan tentang kebenaran data) oleh petugas teller tentang kebenaran isian data setoran.
  • Hak untuk mendapatkan BPN (bukti penerimaan negara) yang sudah ditera NTB/NTP dan NTPN dengan cetakan yang jelas terbaca.
  • Hak untuk mendapatkan layanan pencetakan ulang BPN dari bank persepsi (apabila sebelumnya melakukan penyetoran melalui ATM).
  • Hak untuk mendapat informasi status setoran melalui sarana call center atau layanan informasi nasabah lainnya (jika terjadi gangguan sistem pada saat penyetor melakukan setoran melalui ATM atau sistem elektronik lainnya)

Lebih lanjut dapat dibaca disini: http://filjannah.blogspot.co.id/2014/05/tanggung-jawab-dan-hak-penyetor-dalam.html.

Selain monev terhadap pemenuhan hak-hak penyetor, jam buka/tutup loket untuk layanan teller barangkali juga masih relevan. Saya tidak tahu, apakah batas jam 15.00 masih diberlakukan untuk layanan MPN G2 sebagaimana saat MPN G1.

Saya kira poin layanan edukasi e-billing perlu juga dimasukkan sebagai item penambah nilai. Termasuk didalamnya sarana prasarana yang disediakan oleh bank/pos persepsi untuk membantu masyarakat dalam pembuatan kode billing, seperti ketersediaan PC dan jaringan internet (wifi).

Dengan dua model monev diatas dan dengan poin-poin yang tercantum dalam perjanjian kerjasama serta memperhatikan PMK 32/PMK.05/2014, maka saya kira kertas kerja yang dapat digunakan oleh KPPN dalam melakukan monev sudah bisa disusun. Dan saat ini, kami tengah mencoba membuatnya. Setidaknya usulan kertas kerja yang akan kami sampaikan ke Kanwil atau Kantor Pusat.

 ***

Celah SIMPONI Buat “Ngerjain” Satker

Kota Rindu, Senin 2 Januari 2017 jam 11 siang. Dengan agak dongkol petugas KPPN menelepon bendahara satker X.

“Pak…, ini kenapa ada setoran sisa UP lagi? Itu hari kan sisanya sebesar 500 ribu sudah disetor. Kenapa setor lagi 10 ribu?”

Mendengar itu, bendahara satker X bingung. Karena ia merasa tidak pernah menyetor angka 10 ribu.

“Lho, Mas… saya tidak pernah menyetor lagi 10 ribu… Sumpah!”

“Lalu, siapa yang menyetor 10 ribu ini. Coba tanya dulu staf atau operator. Kalau ada waktu tolong Bapak ke KPPN, akan saya tunjukan setoran 10 ribu itu.”

Kira-kira begitu. Sebuah dialog fiksi tentang kelebihan setoran UP. Tidak banyak, cuma 10 ribu tetapi sudah bisa bikin panjang cerita dan buntutnya.

Anggap saja cerita itu kemudian diketahui memang benar-benar bukan satker X yang menyetor. Dan kita boleh saja menebak satker X sedang dikerjain. Bisakah itu terjadi?

Dengan SIMPONI hal itu mudah saja dilakukan. Dulu dengan setoran manual juga bisa, tetapi butuh usaha lebih untuk mencari data-data satker. Dengan SIMPONI, pilihan data-data sudah tersedia. Tinggal pilih dan klik.

Saya bisa ngerjain satker X. Caranya gampang dan tidak perlu mahal-mahal. Seribu, dua ribu atau seratus rupiah saja sudah bisa bikin repot penyusunan laporan keuangan. Setidaknya, satker harus menjelaskan kenapa lebih setor. Atau membuat klaim bahwa itu bukan setoran mereka.

Hal ini perlu saya ungkapkan sebagai antisipasi. Intinya: ada celah di SIMPONI untuk ngerjain satker dan bahkan juga ngerjain KPPN. Yang itu dampaknya bisa ke penilaian Laporan Keuangan.

Bagaimana caranya? Ya, tidak perlu saya tunjukkan disini. Tetapi, bila nanti benar-benar ada kejadian itu, ya jangan langsung menuduh saya… hehehe…

***

KPPN Sebagai Helpdesk SIMPONI. Bagaimana Bisa?

Dalam sistem MPN G2 ada 3 unit biller yang berperan dalam pemberian kode billing. Biller pajak yaitu DJP. Biller PNBP, DJA dan DJBC untuk billing bea dan cukai. Dua biller – DJP dan DJBC – memiliki unit instansi vertikal di daerah. Sehingga, apabila pengguna layanan mengalami kesulitan dan ingin berkonsultasi terkait layanan portal billing dapat dilayani oleh kantor daerahnya itu. Sedangkan, DJA tidak punya kantor daerah. Lalu, bagaimana bila pengguna di daerah mengalami kesulitan dalam pembuatan kode billing PNBP? Kemanakah bisa berkonsultasi?

Itu baru satu persoalan. Mari kita coba mencari-cari persoalan lainnya. Berbeda dengan pajak dan bea cukai, dalam penyetoran PNBP dikenal adanya tipe-tipe billing. Pengisian BA dan unit eselon I juga harus tepat. Dalam penyetoran dana PFK seperti misalnya iuran BPJS, BA, eselon I yang diisikan bukanlah kode kementerian dari satker ybs. Penyetoran PNBP terkait sektor pertambangan juga demikian. Seperti penerimaan royalti, bila satu perusahaan tambang akan membayar setoran royalti, bagaimana dengan pemilihan kode BA, eselon I dan satkernya? Baru-baru ini juga datang ke kantor saya, ada kelompok masyarakat yang  akan mengembalikan dana (yang awalnya bersumber dari DIPA tahun 2009) karena adanya temuan BPK. Adakah petunjuk tatacaranya?

Belum lagi untuk pengembalian belanja. Misalnya untuk sisa dana BOS, apakah disetor pada tahun berjalan atau itu merupakan sisa dana BOS tahun anggaran yang lalu, jelas berbeda. Tentu petunjuk yang dibuat harus berbeda. Selain juga ada yang bertanya, apa BA eselon I serta satker untuk setoran sisa dana bantuan desa? Nah….

Intinya adalah petunjuk pembuatan kode billing pada aplikasi SIMPONI tidak sama untuk semua jenis penerimaan. Lalu, siapa yang membuat petunjuk-petunjuk itu? Sejauh ini, saya lihat belum ada. Baru sebatas petunjuk secara umum. Padahal, ya itu tadi ada jenis penerimaan yang khusus seperti yang saya contohkan diatas. Setidaknya, ada penerimaan fungsional yang khusus di masing-masing Kementerian.

Meski sejatinya ada kontak layanan yang diberikan untuk permasalahan SIMPONI ini, tetapi saya kira masyarakat masih lebih puas bila bisa bertanya secara langsung. Selain jawaban yang diberikan dalam helpdesk atau pusat layanan itu kadang tidak bisa secara langsung. Praktek-praktek di lapangan juga kadang berbeda dengan tawaran aplikasi.

Riilnya begini. Di SIMPONI untuk menginput nilai setoran telah disediakan perhitungan atau kotak untuk diisi, yaitu volume dan tarif. Sayangnya, kadang di lapangan ada setoran tertentu yang tidak teridentifikasi volume dan tarifnya. Nah, ini perlu improvisasi dalam memberikan bantuan. Saya pernah menyarankan untuk langsung diisi jumlah totalnya dan mengabaikan volume dan tarif. Ternyata hal itu bisa dan tidak ada masalah dengan aplikasi.

Kembali pada pertanyaan diatas. Siapa yang menjadi kepanjangan tangan dari DJA ini? Ya mau gak mau tentu dalam hal ini adalah KPPN. Saya kira petugas bank persepsi juga tidak akan menguasai dalam memberikan petunjuk atau bantuan bila ada pengguna yang menanyakan tentang SIMPONI. Saya kira ini peluang KPPN untuk lebih berperan aktif dalam memberikan layanan bantuan khususnya terkait setoran PNBP, Pengembalian Belanja dan setoran PFK.

Karena itu, kemudian saya mencoba membuat petunjuk tatacara pembuatan kode billing untuk penyetoran PFK bagi SKPD. Ada juga brosur untuk iuran BPJS bagi PPNPN. Dan saya masih menyisakan rencana yang belum kelar yaitu brosur untuk tatacara pembuatan kode billing untuk pengembalian dana BOS. Dan ada lagi untuk setoran royalti pertambangan.

 ***

Efek Samping MPN G2 : Tantangan & Solusinya

Sesuatu yang bertujuan baik kadang mempunyai efek samping. Sebagaimana obat batuk yang punya efek bikin ngantuk. Obat-obat tertentu yang dikonsumsi terlalu lama akan mengakibatkan kerusakan hati. Padahal obat-obat itu bertujuan untuk menyembuhkan penyakit. Bukankah itu tujuan yang baik? Tapi masih juga punya efek samping. Seperti juga dengan perkembangan gadget dengan berbagai aplikasi sosial media. Tujuan utamanya untuk memudahkan manusia berhubungan satu sama lain. Mendekatkan yang jauh. Tetapi punya efek samping yang justru menjauhkan yang dekat. Semuanya terhipnotis dengan gadget. Berkumpul dengan keluarga tetapi pikiran dan fokus di grup WA alumni SMA atau di facebook.

Bagaimana dengan MPN G2? Apakah ia juga punya efek samping? Mari kita lihat apa yang telah terjadi dan akan terjadi.

Pertama, dengan MPN G2, penatausahaan penerimaan negara menjadi terpusat pada KPPN Khusus Penerimaan di Jakarta. Dampaknya, KPPN daerah kehilangan pekerjaan terkait penatausahaan. Ini bisa dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positifnya tak perlu diulas. Karena tulisan ini lebih pada efek samping yang perlu dicari solusinya. Hilangnya pekerjaan bukan sesuatu yang mengenakkan. Rendahnya volume pekerjaan dalam jangka menengah justru akan membuat down mental pegawai. Karena merasa tidak ada yang dikerjakan. Kejenuhan bisa melanda dan bisa fatal akibatnya. Karena itu, perlu antisipasi dan pengelolaan yang baik agar energi dari hilangnya pekerjaan itu dapat disalurkan atau dialihkan untuk kerja lainnya. Perlu terobosan cemerlang untuk melahirkan kerja baru yang mampu membuat pegawai merasa lebih produktif dan bermakna.

Kedua, monitoring penerimaan negara oleh KPPN daerah tidak lagi dilakukan secara kontinyu setiap hari. Dulu, sebelum MPN G2, KPPN daerah melakukan penatausahaan penerimaan negara setiap hari kerja. Otomatis, pekerjaan ini sekaligus memantau penerimaan negara di wilayah kerja masing-masing. Dengan MPN G2, pemantauan ini tidak bisa dilakukan oleh seluruh KPPN. Setidaknya, tidak semua penerimaan negara bisa dipantau oleh KPPN daerah.

Bahwa benar ada dashboard MPN G2, tetapi masih ada kelemahannya. Dimana KPPN yang tidak bermitra dengan KPP tidak akan bisa melihat penerimaan pajak di wilayahnya. Jelasnya begini. Bila ada pertanyaan berapa penerimaan negara bulan Juli di wilayah itu? KPPN daerah pasti akan kesulitan memperoleh jawabannya.

Ketiga, hubungan dengan bank tidak lagi terjalin setiap saat. Tidak seperti dulu, dimana bank persepsi mengirimkan laporan setiap hari kerja ke KPPN, dengan MPN G2, putus kewajiban itu. Apalagi dengan tidak adanya lagi Bank Operasional (BO). Jadi benar-benar, tidak ada lagi hubungan kerja antara bank dan KPPN. Kalaupun KPPN bisa melakukan monitoring atas proses penerimaan negara, itu tentu tidak dilakukan setiap hari.

Karena itu, hal ini menjadi tantangan bagi KPPN untuk tetap dan selalu menjaga hubungan baik yang selama ini telah terjalin. Bagaimanapun silaturahmi harus tetap dijaga. Jelasnya begini. Dulu, dengan adanya ikatan kerja sama antara bank dan KPPN, dengan mudah KPPN bisa meminta bantuan ke bank untuk urusan terkait setoran dan mungkin urusan lainnya terkait pekerjaan. Bagaimana dengan sekarang dan yang akan datang? Itulah yang tetap harus dipertahankan.

Keempat, KPPN daerah tidak akan peduli lagi dengan proses penerimaan negara. Sebelum MPN G2, KPPN selalu rewel mengingatkan bank terkait input data, kebenaran akun, dan isian lainnya. Karena memang itu berdampak pada kerja yang dilakukan oleh KPPN. Artinya rewelnya KPPN terhadap bank adalah karena pamrih agar tidak menghambat proses penatausahaan penerimaan negara. Sekarang dengan MPN G2, siapa lagi yang rewel. Toh, bagi KPPN daerah sudah tidak ada lagi pamrih itu. Tidak ada lagi kerja penatausahaan. Kesalahan apapun yang dilakukan oleh bank, tidak berdampak langsung pada KPPN. Jika pun ada kesalahan penyetoran pajak, urusannya adalah ke KPP. Untuk KPPN paling-paling sebatas PNBP yang umumnya dilakukan oleh satker yang masih dalam jangkauan KPPN untuk memberikan edukasi. Berbeda dengan wajib pajak dimana bukan menjadi domain KPPN.

Kelima, pengawasan penggunaan akun tidak semasif dulu. Bila dulu ada sekolah, SMA, SMK yang melakukan penyetoran sisa dana BOS tahun anggaran yang lalu tetapi disetor dengan SSPB, KPPN akan tahu bahwa itu salah. KPPN tahu dan paham karena berkas atau dokumennya setiap hari dilaporkan oleh bank kepada KPPN. Dengan MPN G2, tidak ada lagi dokumen yang dikirim ke KPPN dan tidak ada lagi yang mempelototi itu. Artinya akan ada banyak kemungkinan kesalahan penggunaan akun. Ini juga menjadi tantangan bagi KPPN untuk tetap memberikan layanan edukasi tata cara penyetoran penerimaan negara.

 ***

Apakah Bukti Pemotongan Pajak Melalui SPM Juga Menggunakan Kode Billing?

Ada PPSPM yang menelepon saya. Dia bertanya. Dari pertanyaannya, saya bisa berkesimpulan, dia tidak paham dengan apa yang ia tanyakan. Lalu, saya mencoba instrospeksi. Barangkali ketidakpahamannya karena kurangnya sosialisasi. Atau setidaknya, ia tidak mau membaca informasi yang telah kami sampaikan melalui buletin periodik.

Begini. Dia belum bisa membedakan antara setoran pajak melalui potongan SPM dengan yang disetor langsung melalui bank persepsi. Anggapan dia, potongan pajak yang ada di SPM juga mesti menggunakan kode billing. Ya mungkin informasi yang dia terima adalah bahwa sejak 1 Juli 2016, setoran pajak harus mengunakan e-billing. Jadi dia berkesimpulan tidak ada lagi SSP manual. Bagian “tidak ada lagi SSP manual” inilah yang kemudian dia tarik ke pengajuan SPM yang ada potongan pajaknya. Tidak berhenti disitu, malah dia beranggapan karena harus menggunakan e-billing, potongan pajak yang ada di SPM harus disetor lebih dulu ke bank persepsi.

Saya tertegun. Luar biasa jalan pikirannya. Kami yang di KPPN, mungkin tidak pernah kepikiran hal semacam itu.Setidaknya saya.  Karena menurut saya, itu dua hal yang berbeda. Tapi, ya begitulah yang dia terima. Usut punya usut, kesimpulan semacam itu, bahwa potongan pajak yang ada di SPM juga harus menggunakan e-billing, juga dimiliki oleh beberapa satker.

Karena itu, hal ini perlu diluruskan. Bahwa yang harus menggunakan e-billing adalah setoran pajak yang langsung dibayarkan melalui bank persepsi. Untuk pajak yang dipotong melalui SPM tetap menggunakan formulir SSP manual seperti sebelumnya. Kecuali untuk SPM/SP2D Pemda.

Untuk SPM/SP2D Pemda, bila ada potongan pajak atau non pajak, karena itu nanti akan dilakukan pemindahbukuan dari kas daerah ke kas negara, maka bukti penyetorannya menggunakan kode billing.

 ***