Sejarah Mekanisme Pencairan Dana APBN

(Lanjutan dari Cerita: Sejarah Layanan Setoran Penerimaan Negara ~> https://mpng2.wordpress.com/2015/01/04/sejarah-layanan-setoran-penerimaan-negara/)

 

Kini, aku tahu siapa gadis itu. Ia adalah putri dari perempuan yang aku cintai. Itulah sebabnya kalung liontin itu berada di lehernya.

Gadis itu bercerita, kedua orang tuanya bercerai sejak ia masih berumur 10 tahun. Ibunya menjanda hingga kini. Aku mulai menyesali diri. Mengapa aku tak pernah menemui ibunya? Seharusnya aku mencari kabar tentang dia. Tapi, putus-asaku telah menutup diriku dari semua wanita termasuk dirinya.

“Mama sering bercerita tentang seorang pria yang ia cintai di masa lalu. Sejatinya, saya sudah tahu siapa diri Om.” Ujar gadis itu.

“Mama masih menyimpan foto Om di dompetnya. Dan itu pula yang menjadi sebab mengapa kedua orang tua saya bercerai. Karena mama tak pernah mencintai papa.”

“Setelah bercerai, sebenarnya mama menunggu kedatangan Om, tetapi Om tak pernah datang dan tak pernah ada kabar. Sampai kemudian saya menemukan foto Om terpampang di koran sebagai wajib pajak teladan.”

Aku terdiam. Mataku berkaca-kaca. Sesal itu makin mengoyak jiwaku.

***

Aku berjanji pada gadis itu untuk berkunjung ke rumahnya. Dan hari itu aku memenuhi janjiku. Aku agak gugup. Rasanya tak sanggup aku menemui wanita yang telah menderita karena diriku. Meski diriku juga menanggung beban rindu kepadanya.

Aku tak mampu lagi menguasai rinduku. Kupeluk erat tubuh wanita di depanku yang masih terlihat cantik. Kami menangis bahagia. Bertiga kemudian kami bercengkrama, saling bercerita tentang masa-masa yang sulit setelah kami berpisah.

Hari itu pula aku melamarnya. Dan seminggu kemudian kami menikah. Meski pernikahan yang sangat terlambat.

***

Hari-hariku dipenuhi tawa dan canda. Lubang di hatiku telah tiada. Kebersamaan kami menjadi keberuntungan bagi Gadis. Ya…, si gadis yang kini menjadi anak tiriku memang bernama Gadis. Satu bab dalam skripsinya yang mengulas Layanan Penerimaan Negara sudah selesai. Ia ingin merampungkan bab berikutnya, yaitu paparan tentang Sejarah Mekanisme Pencairan Dana APBN.

Hari itu aku mengajak Gadis menemui seorang kawan lama. Dia seorang kontraktor yang kaya pengalaman mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Ia sangat paham dengan Mekanisme Pencairan Dana APBN.

Kami beruntung. Adiknya yang bekerja di Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan kebetulan datang berkunjung. Pria yang sudah melalang buana hampir di seluruh daerah di Nusantara itu, ikut nimbrung dalam percakapan kami. Seolah ia melengkapi informasi yang disampaikan kakaknya. Sesekali, ia mengoreksi sudut pandang kakaknya. Aku merasa, ini menjadi diskusi yang sempurna dengan dua narasumber internal dan eksternal Kementerian Keuangan. Dengan tekun kami mendengarkan penjelasan mereka. Kami hanyut dalam dimensi waktu. Satu saat kami merasa berada pada masa lampau, beberapa waktu kemudian kami kembali ke masa kini. Malah, sudut pandang kami menjadi absurd, antara dulu dan sekarang.

***

Periode sebelum 1990

Persis dengan pengalamanku yang pernah aku ceritakan kepada Gadis. Pada masa ini ada dua kantor: Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) dan Kantor Kas Negara (KKN). Satuan kerja atau instansi mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada KPN dan kemudian KPN menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). Ada bagian yang disebut carik giro SPM, yang dikirim ke KKN. Uang tunai akan dibayarkan melalui KKN. Pola pembiayaan dana APBN dikenal dengan nama Beban Tetap dan Beban Sementara.

“Hingga tahun 2000-an, kedua pola tersebut masih digunakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan APBD. Paling tidak, pada beberapa Peraturan Bupati tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban APBD yang terbit pada tahun 2006 masih menyebut kedua pola tersebut,” terang adik kawanku.

Pembayaran dengan Beban Tetap dilakukan diantaranya untuk belanja pegawai dan pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa. Sedangkan pembayaran dengan Beban Sementara biasanya dilakukan untuk keperluan operasional perkantoran atau lainnya. Detil rincian kedua pola tersebut diatur dalam surat edaran.

Pembayaran dengan beban sementara dikenal dengan istilah UUDP atau Uang Untuk Dipertanggungjawabkan.

“Bukan uang untuk dibawa pulang (UUDP),” canda adik kawanku itu.

Kami pun tertawa.

UUDP diberikan per mata anggaran (akun) yang harus dipertanggunjawabkan per akun setiap bulan, yang sisanya harus disetor ke kas negara.

Istilah UUDP sudah digunakan dalam Pasal 42 Indonesische Comptabiliteitswet Staatblads 1925 nomor 448 (Undang-Undang Perbendaharaan yang berlaku sebelum Undang-Undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

“Konsep UUDP berasumsi bahwa rencana berjalan sempurna, tidak akan meleset sedikitpun. Asumsi tersebut, diterjemahkan dengan cara menerbitkan SPM per kode mata anggaran pengeluaran (akun). Uang tunai dari pencairan SPM tersebut tidak dapat direalisasikan ke kode mata anggaran pengeluaran lainnya. Konsep ini memaksa bendahara atau pelaksana kegiatan mengikuti SPJ dan bukan SPJ mengikuti kegiatan. Konsep UUDP telah mendorong bendahara untuk memanipulasi laporan. Caranya adalah dengan melaporkan penggunaan uang sesuai permintaannya walaupun digunakan untuk keperluan lain.”

“Begitulah penjelasan seorang pejabat saat mensosialisasikan sistem baru yang dikenal dengan nama UYHD, kala itu,” ujar saudara laki-laki sahabatku itu.

***

Periode 1990 – 2004

KPN dan KKN melebur menjadi KPKN. Pola pembayaran berubah. Ada dua sistem pembayaran: UYHD dan pembayaran langsung. Munculnya sistem UYHD didasari terbitnya Keputusan Menteri Keuangan nomor 217/KMK.03/1990 tanggal 22 Pebruari 1990 yang pelaksanaannya dimulai 1 April 1990.

“UYHD itu bukan uang yang harus dihabiskan, tapi Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan,” kata adik temanku berkelakar.

Dalam Keputusan Presiden nomor 17 tahun 2000 lebih tegas lagi disebutkan bahwa mekanisme pelaksanaan APBN dilakukan dengan dua cara yaitu melalui penyediaan UYHD dan pembayaran langsung kepada yang berhak. Sedangkan petunjuk pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 531/KMK.03/2000 tanggal 21 Desember 2000 yang dituangkan kembali dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran nomor SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001.

Yang dimaksud dengan pembayaran langsung adalah KPKN melakukan pembayaran secara langsung kepada rekening pihak yang berhak dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) berdasarkan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) dari satker. Mekanisme pembayaran langsung dilakukan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa yang nilainya diatas 5 juta dan pembayaran belanja pegawai. Sedangkan pembayaran melalui penyediaan UYHD dilakukan diantaranya untuk keperluan pengadaan barang/jasa sampai dengan 5 juta untuk tiap jenis barang/jasa serta tiap penyedia barang/jasa.

Pada permulaan tahun anggaran, bendaharawan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran penyediaan dana UYHD (SPP-DU) kepada KPKN. Besarnya dana UYHD yang diminta adalah sebesar keperluan riil selama satu bulan sesuai dengan rincian rencana penggunaan dana. Kemudian, KPKN menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada bendaharawan atas beban mata anggaran khusus. Dana UYHD belum mengurangi pagu anggaran. Dana UYHD dapat digunakan untuk berbagai jenis belanja (kecuali belanja pegawai), dengan ketentuan bahwa dana UYHD belanja rutin terpisah dari dana UYHD belanja pembangunan.

“Tidak seperti sekarang, dulu dikenal pembagian antara belanja rutin dan belanja pembangunan atau proyek,” kata adik kawanku itu.

Setelah dana UYHD digunakan, baik sebagian maupun seluruhnya maka untuk mendapatkan dana UYHD lagi, bendaharawan mengajukan SPP penggantian dana UYHD (SPP-GU) kepada KPKN.

“Saya mengerjakan beberapa proyek di banyak kota. Setiap mengurus pembayaran, saya datang sendiri membawa segepok dokumen yang menjadi persyaratan lampiran SPP.” Ujar kawanku itu.

Aku sangat paham karena tak jauh berbeda dengan pengalamanku saat itu.

Lihat saja, pada setiap pengajuan SPP-GU kepada KPKN, paling tidak harus dilampiri: kuitansi atau surat pernyataan tanggung jawab belanja; fotokopi surat setoran pajak; rincian rencana pengunaan dana untuk keperluan riil satu bulan berikutnya. Apalagi untuk pengajuan SPP-LS kepada KPKN harus disertakan bukti-bukti yang sah, antara lain: kontrak pengadaan; berita acara penyerahan barang; kuitansi; surat pernyataan kepala kantor bahwa penetapan pemenang rekanan telah sesuai ketentuan dan faktur pajak.

***

Periode 2004 – 2012

Dengan terbitnya UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, pembagian kewenangan dalam pengelolaan APBN semakin jelas. Beberapa kewenangan yang sebelumnya dimiliki oleh KPKN bergeser ke setiap satker. Penjelasan runtutnya seperti ini.

Prinsip pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara melibatkan dua kelompok menteri, yaitu menteri keuangan selaku bendahara umum Negara (BUN), di satu pihak, dan menteri teknis, di pihak lain. Pembagian kewenangan tersebut diterapkan dalam lingkup kementerian/lembaga dalam pelaksanaan APBN.

Dalam lingkup yang lebih kecil, para menteri mendelegasikan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan negara di masing-masing kementerian/lembaga kepada para pembantunya sebagai pimpinan satker.

Dalam kementerian masing-masing, seorang menteri adalah pengguna anggaran, memiliki peran BUN dan juga peran menteri teknis. Dua peran inilah yang dikuasakan kepada setiap kepala satker sebagai pembantunya yang kemudian dikenal sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). KPA harus mendelegasikan kewenangan tersebut kepada masing-masing pejabat di bawahnya sesuai kaidah yang dianut dalam undang-undang bidang keuangan negara.

Oleh sebab itu, di dalam setiap satker akan terdapat Pejabat Penanda tangan SPM (PPSPM) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). PPSPM sebagai pemegang peran layaknya BUN yang akan melakukan tugas-tugas pengujian atau verifikasi. Sedangkan PPK berperan layaknya Menteri Teknis, yang melakukan pengambilan keputusan.

Dengan pola pembagian kewenangan tersebut, KPA sebagai Kepala Satker, pada hakekatnya hanya memiliki tanggungjawab dan kewenangan yang bersifat manajerial. Hal ini terkait dengan peran strukturalnya sebagai kepala satuan kerja yang secara hierarchies membawahi pejabat struktural lainnya yang tingkatannya lebih rendah.

Sementara itu, PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab terhadap terjadinya pengeluaran negara, karena berbagai keputusan yang diambilnya akan dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara.

Untuk menjaga obyektifitas dalam pengambilan keputusan, PPK dibantu oleh pejabat pengadaan atau panitia pengadaan barang dan jasa dan juga oleh pejabat penerima barang/ jasa. Untuk menjaga terselenggaranya tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan keuangan negara, keputusan PPK tersebut kemudian diuji secara substantif oleh PPSPM.

Pengujian yang dilakukan oleh PPSPM pada prinsipnya lebih bersifat administratif yang meliputi pengujian wetmatigheid, rechtmatigheid, dan doelmatigheid. Memang pengujian dimaksud akan meliputi hal-hal terkait dengan substansi yang menyebabkan terjadinya pengeluaran negara, akan tetapi pejabat PPSPM tidak pernah memiliki kewajiban untuk melakukan pengecekan apakah kontrak yang asli tersebut tidak dipalsukan, atau apakah berita acara penyerahan barang yang dijadikan dasar penagihan kepada negara tersebut memang didasarkan pada bukti penyerahan barang sesuai dengan perikatan. Ujung dari seluruh pengujian yang dilakukan oleh PPSPM tersebut adalah terbitnya Surat Perintah Membayar (SPM). Hal ini dilakukan bilamana PPSPM meyakini bahwa pembayaran tersebut memang dapat dilakukan. Keyakinan ini perlu dimiliki oleh PPSPM, karena benteng terakhir terjadinya pengeluaran negara di tingkat satker adalah PPSPM. Peran inilah yang dulu dikenal sebagai pemegang kewenangan ordonansering yang dimiliki oleh KPKN.

Kami sampai melongo mendengar penjelasan tentang pembagian kewenangan itu.

“Pada masa ini, KPKN berubah menjadi KPPN,” ujar adik temanku.

“Kok, KPPN, Om..?” Tanya Gadis.

“Bukankah, KPPN itu Koperasi Para Pegawai Negeri?”

“Ah, si Eneng, kura-kura dalam perahu atau ngeledek?” kataku.

Gadis tersipu, mukanya memerah, malu.

Periode ini adalah tonggak dimulainya reformasi birokrasi khususnya di Kementerian Keuangan yang dimulai dengan reorganisasi. Mekanisme pelaksanaan APBN mengalami perubahan menyesuaikan dengan pembagian kewenangan. Terbitlah, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2005.

“Silakan buka google, ketik PER-66/PB/2005, akan muncul tautan untuk mengunduh peraturan itu,” kata adik temanku.

Dulu, satker mengajukan SPP dan kemudian KPKN menerbitkan SPM. Sekarang, satker mengajukan SPM, lalu KPPN menerbitkan SP2D. Kewenangan ordonansering yang dulu dimiliki oleh KPKN berpindah ke tangan PPSPM di masing-masing satker.

UYHD berubah istilah menjadi UP. Pembayaran langsung, tetap. Tapi, dengan persyaratan dokumen yang tak lagi seabrek seperti jaman sebelumnya.

Seiring dengan perkembangan teknologi, lahirlah beberapa aplikasi komputer yang mendukung pelaksanaan APBN.

***

Periode 2012 – 2013

Kementerian Keuangan terus melakukan penyempurnaan mekanisme pelaksanaan APBN berdasarkan pembagian kewenangan dan perkembangan teknologi. Terbitlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 190/PMK.05/2012. Istilah UP dan pembayaran langsung tidak mengalami perubahan.

“Kebetulan di gajetku tersimpan PMK 190.”

“Nah, ini dia… transfer saja lewat bluetooth,” ujar adik temanku.

Dengan PMK ini pembagian tanggung jawab antara satker dan KPPN makin tegas. Dokumen yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab satker, tak lagi disampaikan kepada KPPN.

Sekarang, satker cukup menyampaikan SPM beserta ADK kepada KPPN. Hampir-hampir tak ada dokumen lain yang perlu dilampirkan. Paling tidak untuk SPM penggantian uang persediaan.

***

Periode 2014 – Kini

Impian pemerintah mewujudkan single database dalam pengelolaan APBN, diimplementasikan dengan pelaksanaan aplikasi SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara) di seluruh KPPN. Data pelaksanaan APBN baik penerimaan dan pengeluraan tak lagi tersebar di setiap KPPN, tetapi sudah tersentral pada database SPAN di Kantor Pusat Kementerian Keuangan di Jakarta.

Rupanya, semua perangkat teknis dan peraturan telah saling menyesuaikan. Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tetap menjadi pijakan.

Sistem kerja pencairan dana berjalan secara elektronik. Nyaris tak ada lagi dokumen yang ditandatangani. SPAN telah membagi kewenangan masing-masing.

“Istilahnya, berapapun jumlah dokumen pembayaran yang akan diterbitkan SP2D, sekali klik, selesai,” kata saudara kawanku itu.

***

Hari menjelang sore. Hampir seharian kami tekun menyimak penjelasan kedua bersaudara. Sesekali kami interupsi dengan pertanyaan dan konfirmasi.

“Ada bagian penting dalam pelaksanaan APBN, yang mana banyak orang tidak mengetahuinya, yaitu mengenai pengelolaan kas negara,” kata adik temanku itu.

“Suatu saat, akan saya jelaskan.”

“Oh, terima kasih sebelumnya,” kataku.

“Kami tahu diri, sudah waktunya kami untuk pamit.”

***

Referensi:

-http://www.keuanganpublik.com/2009/06/pembagian-kewenangan-di-antara-para.html;

-https://myepigram.wordpress.com/2011/06/19/dari-uudp-ke-uyhd-perubahan-positif-dalam-penyelenggaraan-pemerintahan;

-http://kendari.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/10/Informasi-hukum-Rp108-Miliar-APBD-Bombana-Tak-Terpakai-11.pdf;

-Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran nomor SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001;

-Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2005;

-Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012.