Meng-MPN-G2-Kan Potongan Pajak SP2D Pemda (2)

Tulisan ini untuk melengkapi atau barangkali mengoreksi beberapa uraian pada tulisan ini: https://mpng2.wordpress.com/2015/03/31/meng-mpn-g2-kan-potongan-pajak-sp2d-pemda/.

Saya mendapat informasi terbaru. Ternyata, DPPKA tidak mengirimkan SP2D secara langsung ke BPD. DPPKA hanya mengirimkan semacam daftar penguji ke BPD. SP2D diambil oleh bendahara dinas/SKPD, lalu dibawanya ke BPD untuk dicairkan.

Jika demikian, alternatif pembuatan kode billing bisa menemui titik terang. Kode billing bisa dibuat oleh bendahara dinas/SKPD. Setelah mengambil SP2D, dan sebelum berangkat ke BPD, hendaknya sang bendahara mampir terlebih dulu ke kantor untuk connect dengan internet. Atau jika di kantor DPPKA terdapat jaringan internet, tinggal ia login ke portal billing untuk membuat kode billing atas potongan pajak yang terdapat pada SP2D yang telah dia pegang. Setelah itu, pergi ke BPD untuk mencairkan SP2D dan menyetorkan pajak yang terdapat pada potongan SP2D.

Sejatinya, sebelum paragraf diatas, saya ingin memutar waktu kembali pada proses pengajuan SPM dari SKPD ke DPPKA. Untuk SPM belanja tertentu semisal belanja pegawai, ada persyaratan yamg harus dilampirkan yaitu SSP manual, dimana SSP manual ini yang nanti akan dijadikan sebagai bukti setor pajak. Nah, jika nanti SKPD akan membayarkan pajak dengan kode billing, bagaimana dengan persyaratan lampiran SSP manual ini? Ada dua solusi.

Pertama, SSP manual tetap dilampirkan. Tetapi, setelah SP2D diambil oleh bendahara SKPD (yang juga terlampir SSP manual), lalu bendahara SKPD mengganti SSP manual tersebut dengan SSP billing (print out dari portal billing: http://sse.pajak.go.id). SSP billing ini saja yang dibawa ke BPD, sedangkan SSP manual cukup disimpan di arsip kantor. Perlu diingatkan: jangan sampai membawa keduanya. Pernah terjadi, dua-dua digunakan. Maksudnya: karena tidak melalukan kroscek, pihak BPD mengeksekusi SSP manual dan SSP billing. Akibatnya dobel setor pajak, satu dengan sistem eksisting (MPN G1) dan satunya dengan sistem MPN G2.

Kedua, DPPKA mengubah ketentuan sekaligus untuk mendukung program MPN G2. Bukan lagi SSP manual yang harus dilampirkan, tetapi SSP billing. Dengan demikian, baik SKPD atau mungkin juga rekanan (yang mendapatkan pembayaran atas pekerjaan yang telah diselesaikan dan ada potongan pajaknya) mau tidak mau harus terkoneksi dengan portal billing untuk membuat SSP billing. Setelah terbit SP2D, bendahara SKPD membawa SP2D (yang di dalamnya terlampir SSP billing) ke BPD untuk dicairkan. Bagaimana jika kode billing menjadi kedaluarsa? Gampang! Ya… tinggal bikin ulang.

Lalu, bagaimana dengan beberapa alternatif pada tulisan sebelum ini?

Saya kira alternatif-alternatif itu dapat menjadi bahan pemikiran bagi Pemda yang akan atau bahkan sudah menerapkan standar prosedur operasional/SOP: SP2D tidak boleh diambil oleh bendahara atau rekanan, tetapi SP2D dikirimkan langsung oleh DPPKA ke BPD.

***