Gangguan Pada Saat Proses Pembayaran Id Billing

Tak ada gading yang tak retak. Apalagi bila itu ciptaan manusia. Begitu juga suatu sistem. Tak ada yang sempurna dan bebas ganguan. Adakalanya tidak stabil. Kita bisa ukur lebih banyak stabilnya atau lebih sering terjadi gangguan.

Itu mungkin juga terjadi pada sistem MPN G2. Ada beberapa laporan yang masuk ke telinga saya.

Pertama, terjadi di pos persepsi. Id billing gagal diproses padahal belum terbayar dan belum juga kedaluarsa. “Bila ada 10 setoran, pasti ada 1 yang gagal,” sampai begitu kesimpulan petugas pos itu. Tentu, saya belum bisa membuktikan kesimpulan ini. Tapi, bahwa kode billing gagal diproses adalah fakta. Di satu bank BUMN juga terjadi. Ada id billing yang tidak dapat diproses. Hingga kemudian, di bank yang sama di  kota lain, sang WP berkesimpulan: bank itu menolak setoran e-billing.

Lalu, apa solusinya? Silakan buat id billing yang baru. Kode billing yang gagal diproses, abaikan saja. Solusi seperti ini saya kira perlu diinformasikan kepada pihak bank/pos persepsi.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Saya juga tidak tahu persis. Saya hanya bisa menduga-duga. Barangkali sistem sedang tidak stabil. Sistem MPNnya atau sistem banknya. Jaringan juga berpengaruh. Kalau WP mau bersabar, mungkin proses pembayarannya bisa ditunda esok harinya. Siapa tahu sudah stabil dan berhasil. Bila ternyata tetap gagal, ya solusi tadi: bikin kode billing baru.

Kedua, satu id-billing terproses dua kali. Awalnya, sistem di pos persepsi menyatakan belum berhasil. Lalu, diulangi dan berhasil. Ternyata kemudian, muncul dua NTPN yang itu artinya terproses dua kali bayar, padahal satu kode billing. Akibatnya terjadi kelebihan setor. Dengan kasus yang hampir sama, juga terjadi di satu bank BUMN. Persis kejadiannya saya kurang tahu. Kira-kira begini. Setelah diproses, sistem bank tidak bisa menampilkan NTPN dan di sistem muncul pesan “Transaksi sedang diproses BPN dianggap sah dengan NTB”. Tentu ini membuat bingung petugas teller. Segera petugas itu menghubungi kami. Saya minta nomor kode billingnya. Saya segera ingat dengan Dashboard MPN G2 yang real time. Detik itu masuk ke kas negara, detik itu pula bisa dimonitor di Dashboard MPN G2. Setelah saya cek di Dashboard, ternyata sudah ada setoran itu. Ada kode NTPN-nya. Selang beberapa menit kemudian, teller itu menelpon kembali dan memberi kabar bahwa sudah bisa cetak BPN dan muncul NTPN-nya.

Langkah yang ditempuh oleh petugas teller, saya kira tepat sekali. Dia ragu, apakah proses yang dia lakukan gagal ataukah berhasil. Bila ia cepat menyimpulkan gagal dan memproses ulang, dikhawatirkan akan terproses dua kali. Artinya terjadi kelebihan setor. Maka, langkah cepat menghubungi KPPN adalah tepat. Saya kira, info ini perlu disebarluaskan. Agar bila terjadi di tempat lain, bank/pos melakukan hal yang sama. Yaitu: menghubungi KPPN untuk mengecek kode billing di Dashboard MPN G2. Tentu, petugas KPPN harus sigap.

***

Dokumen Sumber PFK (Setoran MPN G2) Dari Pemda

Untuk melaksanakan PMK nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntasi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus dan sebagai upaya meningkatkan akurasi Laporan Keuangan seluruh transaksi Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) , KPPN diminta untuk mengumpulkan softcopy dokumen sumber dari satker mitra kerja dan Pemda termasuk dari PT. Taspen dan PT. Asabri.  Softcopy (file PDF) tersebut selanjutnya dikirim ke Kantor Pusat DJPBN.

Apa itu PFK? silakan baca  di link ini: http://filjannah.blogspot.co.id/2014/09/perhitungan-fihak-ketiga-atau.html

Beberapa dokumen sumber itu diantaranya: Bukti Penerimaan Negara (BPN) dan Rincian Pembuatan Tagihan Kementerian/Lembaga Bendahara Umum Negara (RPT KL-BUN). Keduanya merupakan bukti dari setoran melalui MPN G2.

Dalam penyetoran dana PFK (IWP, Taperum, Iuran BPJS PPNPN) biasanya ada dua cara yang ditempuh Pemda. Pertama, dikumpulkan dan disetor seluruhnya oleh Bendahara Umum Daerah (dalam hal ini biasanya DPPKA) dan kedua, disetor oleh masing-masing SKPD.

Dana PFK (IWP, Taperum) disetor oleh BUD atau SKPD melalui pemindahbukuan dari kas daerah ke kas negara. Untuk yang disetor oleh masing-masing SKPD, setiap SPM/SP2D masing-masing SKPD yang didalamnya terdapat potongan PFK, akan dilampiri billing receipt (Bukti Pembuatan Tagihan) dari cetakan aplikasi SIMPONI. Kalau yang masih menggunakan MPN G1 berarti menggunakan formulir SSBP.

Mengumpulkan dokumen sumber itu, tentu menjadi satu pekerjaan tersendiri bagi KPPN. Untuk setoran PFK Pemda menggunakan MPN G1, tidak jadi persoalan karena arsip SSBP ada juga di KPPN. Yang setorannya dikumpulkan jadi satu oleh BUD, juga gampang karena bisa langsung minta ke DPPKA. Paling setiap bulan hanya 2 sampai 3 transaksi. Lalu, bagaimana yang disetor oleh masing-masing SKPD?

Di tempat saya, satu Pemda saja kira-kira tiap bulannya sekitar 100-an transaksi. Bila ini seluruh Indonesia, sudah berapa? Mudah-mudahan hanya Pemda di tempat saya saja yang begitu, yaitu dikelola sendiri oleh setiap SKPD. Tapi, justru mungkin karena seperti itu, Pemda ditempat saya itu selama 3 tahun berturut-turut Laporan Keuangannya WTP. Hebat, bukan?

Tapi, tenang.  Saya sudah punya cara mengumpulkan itu. Saya tidak akan minta softcopy cetakan BPN yang dari bank. Karena itu mungkin merepotkan, karena harus di-scan dulu. Iya, kalau SKPDnya punya mesin scan. Kalau tidak punya? Karena tidak hanya Dinas-Dinas yang setor sendiri, tapi seluruh Kantor Kecamatan dan Kantor Kelurahan yang di kota juga setor PFK sendiri. Mereka juga menjadi satker pengelola APBD dan menerbitkan SPM belanja pegawai sendiri.

Saya akan minta file pdf BPN dan RPT KL-BUN dari aplikasi SIMPONI. Dan ketahuilah, RPT KL-BUN itu ya memang harus dari aplikasi SIMPONI. Soal RPT KL-BUN ini, Anda belum tahu, bukan?

Saya bersurat dan minta tolong kepada DPPKA untuk menginformasikan hal ini kepada seluruh SKPD dan mengkoordinir softcopy dari SKPD. Saya juga lampirkan tatacara mendonload BPN dan RPT KL-BUN dari aplikasi SIMPONI. Anda ingin tahu caranya? Silakan unduh disini: https://www.dropbox.com/s/1m0kc70r54awjwd/Tatacara%20Unduh%20BPN%20%26%20RPT%20KL.pdf?dl=0

Atau bisa juga DPPKA memerintahkan semua SKPD untuk datang ke KPPN dengan membawa username dan password aplikasi SIMPONI. Dan semuanya bisa didonlod dari komputer KPPN. Ini mungkin malah lebih efektif.

Dan ada yang paling efektif. Untuk dokumen sumber PFK setoran MPN G2, daripada repot-repot mengumpulkan dari KPPN dan KPPN juga mengumpulkan dari setiap Pemda atau satker, barangkali Kantor Pusat DJPBN bisa langsung minta bantuan kepada Admin Server aplikasi SIMPONI di DJA. Minta tolong untuk mengunduh seluruh BPN dan RPT KL-BUN.

Namun, bila ini dimaksudkan agar KPPN selalu menjaga hubungan baik dengan Pemda,  ya gakpapa, saya kira bagus-bagus saja.

 ***

Minimarket Persepsi???

Fix sudah. 1 Juli 2016. Full MPN G2. Di laman kemenkeu.go.id ditulis: “Siap-Siap, E-Billing Mulai Berlaku pada 1 Juli”. Yang gemar dengan istilah MPN G2, tidak perlu tersinggung. Meski di berita itu tidak disebut sama sekali MPN G2, percayalah E-Billing itu ya MPN G2.

Menurut saya, judul berita itu sejatinya kurang pas. Karena E-Billing sudah berlaku sejak lama. Sudah diimplementasikan sejak tahun 2014. Berjalan beriringan dengan sistem lama. Saya tahu maksud berita itu. Saya yakin Anda juga sudah tahu. Ya itu tadi, di awal alinea pertama. Full E-Billing atau Full MPN G2.

Ada banyak cara yang disediakan pemerintah untuk membuat kode billing. Bisa dibaca disini: https://mpng2.wordpress.com/2016/04/15/alternatif-pembuatan-kode-billing-sse-generasi-kedua-billing-intranet/. Satu lagi, pemerintah dan bank persepsi juga sudah menyiapkan menu pembuatan kode billing di aplikasi teller. Tempo hari saya cek ke bank. BNI sudah siap. Saya punya screenshot menunya.  Yang lainnya belum. Mudah-mudahan sekarang sudah.

Kantor Pajak dan KPPN seluruh Indonesia juga sudah disiapkan untuk layanan kode billing. Jadi, kurang apalagi usaha pemerintah. Kalau masih mengeluh bilang: “bayar pajak kok susah.” Buang aja orang itu ke laut. Hehehe…Maaf, jangan tersinggung.

Itu bikin kode billingnya. Lalu, bagaimana bayarnya? Sudah banyak tempat dan sarana yang disiapkan. Bank-bank ternama sudah siap dengan segala fasilitasnya. Teller, ATM, EDC dan internet banking. Kantor Pos juga oke. Kurang apalagi?

Barangkali perlu ditambah lagi. Karena itu, saya mengusulkan kerjasama dengan jaringan minimarket. Tak perlu disebut nama minimarket itu, Anda pasti tahu. Tiket kereta, pesawat, tagihan bulanan, BPJS, semua sudah bisa dibayar melalui minimarket. Artinya: bayar pajak mestinya juga bisa lewat minimarket.

“Ah, gak bisa itu!” Jika Anda spontan berkata begitu, saya bisa tebak: Anda seorang PNS. Peace…! 🙂

“Hari gini! Apa sih yang gak bisa?”

Kantor Pos saja bisa. Kantor Pos itu bukan bank. Usahanya: jasa pengiriman, jualan perangko, meterai. Dan nyatanya jadi Pos Persepsi.

Apa nanti sebutannya? Ya mungkin Minimarket Persepsi. Tapi, masalahnya, mereka mau gak?

 ***

Dia pikir bayar pajak itu seperti bayar makan di warung

Tempo hari ada yang datang mengunjungi saya. Dua orang wajib pajak (WP). Begini ceritanya: Sang WP akan menyetor pajak untuk satu keperluan. Ia dititipkan SSP (Surat Setoran Pajak) dan uang pada temannya. SSP manual.  Di SSP itu belum tercantum  NPWP. Nama dan data lainnya sudah ada. Bank tentu menolak. Kalau pun ada NPWP, bank sudah mulai sepakat untuk melakukan edukasi agar menggunakan billing.

Rekannya ini baik hati. Tanpa telpon dulu menanyakan NPWP, dibuatkanlah id-billing untuk temannya itu melalui aplikasi https://sse.pajak.go.id/ menggunakan user dan PIN miliknya. Barangkali dia pikir, yang penting uang masuk ke kas negara. Setelah teller menerima id-billing dan sejumlah uang, langsung memproses dan ia tidak akan bertanya, apakah setoran billing itu untuk yang bersangkutan atau untuk orang lain. Teller hanya akan mengecek apakah data yang tercantum dalam cetakan billing dengan yang tampil di layar komputer sama. Diproseslah dan terbit BPN (Bukti Penerimaan Negara).

Si WP gembira telah membantu rekannya membayarkan pajak. Dibawalah BPN itu ke tempat ia mengurus keperluan. Barangkali untuk balik nama sertifikat atau keperluan lain yang saya tidak terlalu detil bertanya. Setelah pihak itu mengecek BPN, tentu ia kaget:

“Lho… kok ini nama orang lain?”

“Iya, tadi begini ceritanya…. .Jadi saya bantu setor dengan NPWP saya…”

“Wah, gak bisa pak… nama penyetor harus sesuai dengan yang punya urusan ini. Ndak bisa pake nama orang lain…”

Kira-kira begitulah dialognya.

Nah, pucatlah si Kawan ini. Karena uangnya tidaklah sedikit. Didatanginya bank tempat ia menyetor. Bagaimana ini? Tentu bank tidak bisa mengubah data NPWP atau membatalkan transaksi, karena sudah terbit BPN. Maka, disarankanlah untuk datang ke kantor saya.

Saya tertegun. Kok bisa seperti itu? Saya terhenyak. Ini jelas karena kurangnya pemahaman. Mungkin dia pikir bayar pajak itu seperti bayar makan di warung. Temannya yang makan, tapi ia yang bayar. Pihak warung tidak akan ngotot harus yang makan yang bayar. Kalau sudah ada orang lain yang bayar, ya sudah lunas. Tentu bayar pajak tidak seperti itu. Karena ada pencatatan dan pembukuan.

Saya tidak bisa berbuat banyak. Saya telpon teman yang ada di Kantor Pajak, menceritakan kasus itu. Saya minta tolong agar WP itu dibantu. Selesai menelpon, saya arahkan WP untuk datang ke Kantor Pajak. Dengan melihat langsung saya menelpon dan saya berikan nama teman yang di Kantor Pajak itu, sepertinya sedikit memberi kelegaan baginya. Seperti ada penunjuk jalan.

***

Tata Cara Pembuatan Kode Billing Untuk Iuran Jaminan Kesehatan Pegawai Non PNS

Apa yang terjadi bila kebijakan publik yang ditujukan untuk perlindungan kesehatan bagi pegawai non PNS tidak segera dilaksanakan? Anda sudah tahu jawabannya.

Pertanyaannya, mengapa lamban dilaksanakan? Ada banyak macam alasan yang bisa disusun. Tetapi, pada intinya karena komitmen dan kepedulian yang kurang atau malah tidak ada. Siapa itu? Ah, sudahlah…. Mari kita bahas jalan keluarnya, paling tidak ini menjadi peluang bagi peran “kita” saat ini dan kedepan.

Terus terang, saya sendiri kadang merasa putus asa dengan sebagian mereka. Apa sih susahnya membayar tunjangan sertifikasi bagi guru non PNS setiap bulan (tidak dirapel), khususnya bagi guru non PNS di Madrasah swasta. Saya kira, bila itu bisa dilakukan, dibayarkan setiap bulan seperti gaji PNS dan tidak dirapel 3 bulan bahkan sampai 6 bulan, para guru non PNS ini akan sedikit membaik kesejahteraannya.

Mari kita kembali pada pokok tulisan ini. Satu kebijakan publik yang saya maksud adalah kepesertaan BPJS bagi PPNPN (Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri) atau sebut saja pegawai non PNS.

Kita tahu di banyak instansi pemerintah, selain PNS ada juga pegawai non PNS yang turut mendukung pelaksanaan tugas pemerintahan, seperti: satpam, tenaga kebersihan, guru honorer dan atau yang sering disebut sebagai tenaga honorer.

Seingat saya, sudah sejak tahun 2014, program BPJS untuk pegawai non PNS ini diluncurkan. Karena mungkin kurangnya sosialisasi, di tingkat bawah program ini tidak lekas dieksekusi. Paling tidak itu yang saya rasakan dan saya lihat di wilayah saya. Setahu saya sudah ada surat dari Kementerian Keuangan kepada seluruh Kementerian/Lembaga perihal jaminan kesehatan untuk PPNPN.

Karena itu, kami tergerak untuk membantu sosialisasi program ini. Meski tahun lalu kami telah menyampaikan pemberitahuan, kami terdorong untuk kembali menyusun surat pemberitahuan secara lebih detil dan mengirim surat tersebut kepada seluruh satker mitra kerja dengan tembusan kepada kantor BPJS setempat.

Berikut isi surat tersebut:

  1. Apabila di instansi Saudara terdapat pegawai/tenaga honorer (pegawai non PNS) yang dibayarkan penghasilannya dari dana DIPA (APBN), hendaknya segera mendaftarkan PPNPN tersebut ke Kantor BPJS setempat untuk mendapatkan jaminan kesehatan;
  2. Besaran iuran jaminan kesehatan untuk PPNPN ditetapkan sebesar 5% dari upah/penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. 2% dari penghasilan ditanggung oleh PPNPN, yang dipotong dan disetorkan oleh bendahara pengeluaran masing-masing satker;
    2. 3% dari penghasilan ditanggung oleh Pemerintah selaku pemberi kerja, dibayarkan melalui DIPA BA-BUN (Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara), yang untuk saat ini dibayarkan melalui Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan;
    3. Apabila upah/penghasilan PPNPN dibawah upah minimum kabupaten (UMK), maka standar (dasar) potongan iuran jaminan kesehatan untuk PPNPN adalah UMK;
    4. Dengan besaran iuran jaminan kesehatan tersebut, anggota keluarga yang dijamin BPJS Kesehatan sudah termasuk istri dan maksimal 3 anak (5 anggota keluarga), dengan fasilitas kelas 2.
  3. Tatacara pendaftaran dan penyetoran iuran jaminan kesehatan untuk PPNPN, sebagai berikut:
    1. Pendaftaran dilakukan secara kolektif oleh satker;
    2. Sebelum melakukan pendaftaran, satker melakukan pemotongan untuk iuran jaminan kesehatan sebesar 2% dari penghasilan tetap PPNPN (dengan ketentuan diatas) untuk kemudian disetorkan dengan menggunakan kode billing dari aplikasi SIMPONI melalui Bank/Pos Persepsi dengan kode akun 811141;
    3. Satker mendaftarkan PPNPN ke Kantor BPJS Kesehatan dengan membawa Form Registrasi dan Data Karyawan serta melampirkan bukti setor iuran berupa Bukti Penerimaan Negara (BPN) dari Bank/Pos Persepsi atas pemotongan iuran yang berasal dari PPNPN. Form Registrasi dan Form Data Karyawan dapat diminta secara langsung pada Kantor BPJS setempat;
    4. Kantor BPJS Kesehatan melakukan entry data peserta untuk kemudian diterbitkan Kartu BPJS Kesehatan (Kartu Indonesia Sehat);
    5. Selanjutnya, setiap bulan satker melakukan pemotongan dan menyetorkan iuran jaminan kesehatan untuk PPNPN sebagaimana huruf a diatas.
  4. Atas pelaksanaan penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi para PPNPN dimaksud, satker melaporkan secara berkala setiap bulan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian/Lembaga masing-masing dengan format laporan sesuai kebutuhan meliputi kolom: nomor, nama PPNPN, penghasilan per bulan, iuran jaminan kesehatan dan keterangan lainnya.

Bagaimana dengan tatacara pembuatan kode billing untuk penyetoran iuran jaminan kesehatan bagi PPNPN?

Pertama, kami sudah siapkan brosurnya. Silakan unduh disini: https://www.dropbox.com/s/kaaga6nuri5grd5/brosur%20ppnpn-apbn-blog.pdf?dl=0

Kedua, intinya setoran ini dilakukan oleh instansi/kantor. Jadi, bukan oleh perseorangan masing-masing pegawai non PNS.

Ketiga, pastikan tidak salah memilih jenis akun. Teliti akun yang digunakan, yaitu 811141 – Penerimaan PFK 2 % Iuran Jaminan Kesehatan Pegawai Pemerintah Non PNS yang Berasal dari APBN.

Keempat, yang disetor hanya yang 2 %. Untuk yang 3 % menjadi urusan Kementerian Keuangan. Karena itulah, setiap bulan satker menyampaikan laporan penyetoran iuran BPJS PPNPN kepada Sekretaris Jenderal Kementerian/Lembaga. Selanjutnya Sekretariat Jenderal Kementerian/Lembaga merekap dan menyampaikan laporan kepada Kementerian Keuangan (dalam hal ini Ditjen Perbendaharaan). Hal ini perlu menjadi perhatian, karena sudah ada satker pusat yang menyetor 3%. Jelas ini hal yang keliru karena mungkin kurangnya sosialisasi.

Bagaimana dengan Iuran Jaminan Kesehatan Untuk Pegawai Non PNS Daerah (APBD)?

Pada prinsipnya sama, hanya untuk yang 3% dibayarkan oleh pemberi kerja dalam hal ini masing-masing SKPD dimana PPNPN tersebut bekerja (apabila sudah dianggarkan). Bila belum/tidak dianggarkan di setiap SKPD, maka saya kira menjadi kewajiban entitas atau unit Bendahara Umum Daerah untuk menyetorkan yang 3% tersebut kepada kas negara.

Adapun tatacara pembuatan kode billing untuk penyetoran iuran jaminan kesehatan bagi PPNPN yang dibiayai dari dana APBD, silakan unduh disini: https://www.dropbox.com/s/vz673ymbz9ot2w7/brosur%20ppnpn-apbd-blog.pdf?dl=0

***

 

Alternatif Pembuatan Kode Billing Pajak: SSE Generasi Kedua & Billing-Intranet

Salah satu permasalahan dalam implementasi MPN G2 atau billing system (e-billing) adalah banyak wajib pajak (WP) yang lupa password atau PIN. Sebenarnya, kalau mereka masih ingat email yang digunakan pada saat melakukan registrasi, PIN bisa dicari di kotak masuk atau inbox email tersebut. Sayangnya, permasalahan lupa password ini tidak melulu lupa PIN untuk masuk ke aplikasi https://sse.pajak.go.id/ tetapi juga lupa email yang digunakan. Atau, tahu emailnya, tapi lupa password email tersebut. Karena barangkali pada saat registrasi, ia dibantu pihak lain, dimana pada saat itu ia belum punya email dan email baru dibuatkan oleh pihak lain tersebut.

Yang terjadi di instansi pemerintah, kebanyakan adalah karena pergantian petugas tanpa kaderisasi dan serah terima pekerjaan yang tidak diikuti dengan memori jabatan. Riilnya, saat pergantian petugas, PIN untuk portal billing pajak lupa tidak disampaikan kepada penggantinya.

Sebab lainnya adalah ketidakpedulian dari wajib pajak. Dianggapnya urusan pajak hanya sekali seumur hidup. Setelah bikin akun billing, bayar, lalu dilupakan. Email, PIN tidak penah disimpan atau diingat. Dalam perjalanan waktu ternyata ada kewajiban perpajakan, maka bingunglah ia mengingat-ingat PIN dan email. Ada fasilitas menu Lupa PIN, tetapi tetap harus ingat email yang pertama kali digunakan untuk registrasi. Kalau diisi email baru, muncul peringatan user id dan email tidak terdaftar. Untuk solusi masalah tersebut, wajib pajak harus telpon langsung ke call center DJP. Kantor pajak setempat tidak bisa berbuat banyak jika lupa PIN dan email aplikasi https://sse.pajak.go.id/. Berdasarkan pengalaman, jawaban dari petugas call center adalah hanya memberitahukan alamat email yang digunakan. Untuk PIN sepertinya mereka juga tidak bisa mendeteksi. Jadi harus dicari di email tersebut. Masalahnya adalah WP lupa password email.

Apa solusinya?

Pertama, jika memang Anda lupa PIN dan password email, sudahlah ini adalah titik tolak Anda meninggalkan aplikasi https://sse.pajak.go.id/ dan mulailah berpindah ke SSE generasi kedua. DJP telah menyediakan SSE generasi kedua, dengan alamat https://sse2.pajak.go.id. Bila Anda buka alamat tersebut, untuk pertama kalinya akan redirect ke alamat: https://djponline.pajak.go.id/account/login dengan tampilan seperti ini:

1

Jadi persis seperti Anda akan masuk ke e-filing untuk laporan SPT. Masukkan NPWP. Sedangkan passwordnya adalah sama dengan password e-filling. Selanjutnya akan muncul tampilan seperti ini:

2

 

Untuk SSE generasi kedua, jika Anda lupa password dan lupa email serta tidak menyimpan EFIN, silakan mencetak ulang EFIN di Kantor Pajak terdekat. Langkah berikutnya adalah seperti di link ini http://kppmatarambarat.com/solusi-lupa-password-email-pada-aplikasi-djp-onlinee-filing/.

Atau, Anda bisa masuk lewat alamat ini https://djponline.pajak.go.id, setelah login dengan NPWP dan password e-filing, akan muncul tampilan seperti dibawah ini. Perhatikan disana ada menu E-Billing (lingkaran merah). Silakan klik menu tersebut.

3

Kedua, kabarnya internet banking di beberapa bank ternama tidak hanya bisa digunakan untuk melakukan pembayaran pajak dengan id billing, tetapi di dalam menu internet banking itu juga disediakan fasilitas pembuatan id billing. Perhatikan informasi pada tampilan SSE generasi kedua diatas.

Ketiga, Anda bisa membuat kode billing melalui SMS. Petunjuknya silakan klik link ini http://www.pajak.go.id/content/article/pembuatan-kode-billing-melalui-sms-ussd  atau ini http://www.pajakatambua.com/#!mpn-g2-handphone/alwbb . Sayangnya, kemungkinan Anda akan dikenakan pemotongan pulsa. Jadi, saya tidak perlu menjelaskan secara panjang lebar. Lagian, masih banyak tipe wajib pajak yang “kertas minded”. Kalau gak ada cetakan kertas, rasanya kurang marem.

Keempat, bila Anda lupa PIN SSE generasi 1 (https://sse.pajak.go.id)  dan juga belum memanfaatkan e-filing, yang itu artinya Anda belum punya password untuk masuk ke https://djponline.pajak.go.id dan SSE generasi 2 (https://sse2.pajak.go.id). Atau Anda sudah punya password djponline tapi lupa, sudah minta efin ke Kantor Pajak, tapi lupa lupa terus. Atau Anda adalah WP yang menurut Anda hanya akan sekali itu membayar pajak dan tidak mau repot-repot punya PIN dan password. Maka, solusinya adalah silakan datang ke Kantor Pajak terdekat. Disana sudah disediakan satu komputer dengan jaringan intranet khusus DJP. Ada alamat portal atau web yang hanya bisa diakses di Kantor Pajak yaitu https://billing-djp.intranet.pajak.go.id.

Dengan portal itu, Anda bisa langsung membuat kode billing tanpa perlu login. Anda bisa langsung memasukkan NPWP dst. Lihat tampilannya:

4

Cara input datanya seperti ini:

5

Dan hasilnya adalah dalam bentuk file pdf, seperti dibawah ini.

6

Silakan Anda perhatikan pada bagian catatan. Jadi, jelaslah bahwa tanggung jawab isian kode billing ada pada wajib pajak, meski misalnya dalam prakteknya wajib pajak dibantu oleh petugas Kantor Pajak. Ia hanya sekedar membantu. Bagaimana pun bila ada kesalahan adalah tanggung jawab wajib pajak. Sehingga, meski dibuatkan,  wajib pajak tetap harus memeriksa dan meneliti kebenaran isian data kode billing tersebut.

Maka, dengan disclamer tanggung jawab tersebut, petugas Kantor Pajak tidak perlu ragu-ragu lagi dalam membantu masyarakat untuk pembuatan kode billing.

Sejatinya, saya berharap kedepan model portal billing-intranet tersebut bisa disediakan untuk masyarakat melalui internet tanpa harus datang ke Kantor Pajak. Sehingga, akan memudahkan WP dalam membuat kode billing tanpa harus registrasi, tidak perlu login dan mengingat-ingat PIN atau password.

***

Meng-MPN-G2-kan Potongan PFK SP2D Pemda

Agar saya tidak dituduh hanya sekedar omong doang, saya akan menuliskan tentang tatacara pembuatan kode billing untuk setoran penerimaan PFK (perhitungan fihak ketiga).

Akhir-akhir ini saya memang getol melakukan pendekatan ke Pemda untuk segera menggunakan e-billing dalam rangka penyetoran penerimaan PFK. Selain potongan pajak, pada SP2D Pemda juga terdapat potongan untuk penerimaan PFK, khususnya pada SP2D pembayaran belanja pegawai seperti gaji induk bulanan atau rapel kekurangan gaji. Biasanya ada 3 akun PFK yang menjadi potongan SP2D Pemda, sebagai berikut : 811112 Penerimaan Setoran / Potongan PFK 10% Gaji PNS Daerah; 811212 Penerimaan Setoran / Potongan PFK 2% Pembayaran Gaji terusan PNS Daerah; dan 811912 Penerimaan Setoran Potongan PFK Tabungan Wajib Perumahan PNS Daerah.

Ada juga setoran PFK yang bukan merupakan potongan SP2D Pemda, tetapi langsung disetorkan setiap bulan diantaranya: 811412 Penerimaan Setoran PFK 3 % Iuran Jaminan Kesehatan Pemerintah Kabupaten/Kota; 811151 Penerimaan PFK 2 % Iuran Jaminan Kesehatan Pegawai Pemerintah Non PNS-APBD; 811152 Penerimaan Setoran/Potongan PFK 3% Iuran Jaminan Kesehatan dari Pemberi Kerja Pegawai Pemerintah Non PNS-APBD.

Namun demikian, pada dasarnya, tatacara penyetorannya sama saja.

Nah, sekarang saya akan menjelaskan tahap demi tahap mulai dari registrasi sampai dengan pembuatan kode billing pada portal billing https://simponi.kemenkeu.go.id.

Siapkan data-data diantaranya: nama SKPD, alamat kantor, nama email, user dan password yang akan digunakan. Masuk ke portal billing https://simponi.kemenkeu.go.id. Maka akan muncul tampilan berikut:

0

Lalu, klik Daftar. Akan muncul tampilan dibawah ini. Isikan data sebagaimana contoh ini. Jangan lupa untuk memilih atau mencontreng USER BILLING NON ANGGARAN pada bagian atas.

1b

1c

2a

2b

Perhatikan isian pada bagian Data Kementerian/Lembaga. Pastikan memilih data sebagaimana contoh diatas. Jika data sudah terisi semua, klik Daftar. Namun sebelumnya, pastikan nama email sudah tepat. Setelah klik Daftar, silakan cek email.

4a

Anda akan menerima email aktivasi dari Direktorat Jenderal Anggaran. Buka email tersebut.

5a

Lalu, klik link aktivasi yang berwarna biru. Maka, akan muncul tampilan seperti dibawah ini.

6a

Kemudian, klik Aktifkan. Muncul tampilan berikut.

7a

Klik OK untuk masuk ke portal billing SIMPONI.

8a

Masukkan User dan Password, lalu geser kekanan bagian yang berlingkaran hijau.

9a

Klik Masuk pada bagian yang berlingkaran merah. Maka muncullah tampilan beranda.

10a

Untuk membuat billing, pilih dan klik menu Billing pada bagian yang berlingkaran merah. Dan akan berubah tampilan dengan nama Non Anggaran. klik pada bagian itu.

11a

Tampilan akan berganti. Untuk pembuatan billing klik Pembuatan Billing (Non Anggaran)

12a

Akan muncul tampilan seperti dibawah ini. Pilih Jenis Setoran

13a

Pilih Setoran PFK. Maka isian KPPN, Fungsi, dst akan hilang.

14a

Tampilan akan menjadi seperti ini.

15a

Kemudian isikan keterangan sesuai dengan akun setoran, seperti contoh dibawah ini.

16a

Pada bagian Detail Pembayaran, klik Tambah Baris.

17b

Bagian yang berlingkaran merah adalah kotak yang perlu diisi. Pastikan Akun, Lokasi, Periode dan Jumlahnya benar. Bila sudah yakin benar, klik Simpan. Muncul tampilan dibawah ini. Klik OK.

18a

Kemudian klik Cetak. Akan muncul tampilan dan bisa diunduh file Pdf seperti ini:

19a

Selanjutnya, silakan Bukti Pembuatan Tagihan tersebut dilampirkan pada SP2D Pemda untuk pembayaran gaji induk bulanan. Atau bisa juga Bendahara menyusulkannya pada saat Bendahara datang ke Bank untuk menerima pembayaran gaji tersebut. Perhatikan tanggal kadaluarsa. Bila jarak antara pembuatan billing dan tanggal pembayaran gaji melebihi 3 hari, pastikan sebelum berangkat ke Bank, Bendahara membuat kembali kode billing tersebut.

Semoga bisa membantu.

***

Sejarah Mekanisme Pencairan Dana APBN

(Lanjutan dari Cerita: Sejarah Layanan Setoran Penerimaan Negara ~> https://mpng2.wordpress.com/2015/01/04/sejarah-layanan-setoran-penerimaan-negara/)

 

Kini, aku tahu siapa gadis itu. Ia adalah putri dari perempuan yang aku cintai. Itulah sebabnya kalung liontin itu berada di lehernya.

Gadis itu bercerita, kedua orang tuanya bercerai sejak ia masih berumur 10 tahun. Ibunya menjanda hingga kini. Aku mulai menyesali diri. Mengapa aku tak pernah menemui ibunya? Seharusnya aku mencari kabar tentang dia. Tapi, putus-asaku telah menutup diriku dari semua wanita termasuk dirinya.

“Mama sering bercerita tentang seorang pria yang ia cintai di masa lalu. Sejatinya, saya sudah tahu siapa diri Om.” Ujar gadis itu.

“Mama masih menyimpan foto Om di dompetnya. Dan itu pula yang menjadi sebab mengapa kedua orang tua saya bercerai. Karena mama tak pernah mencintai papa.”

“Setelah bercerai, sebenarnya mama menunggu kedatangan Om, tetapi Om tak pernah datang dan tak pernah ada kabar. Sampai kemudian saya menemukan foto Om terpampang di koran sebagai wajib pajak teladan.”

Aku terdiam. Mataku berkaca-kaca. Sesal itu makin mengoyak jiwaku.

***

Aku berjanji pada gadis itu untuk berkunjung ke rumahnya. Dan hari itu aku memenuhi janjiku. Aku agak gugup. Rasanya tak sanggup aku menemui wanita yang telah menderita karena diriku. Meski diriku juga menanggung beban rindu kepadanya.

Aku tak mampu lagi menguasai rinduku. Kupeluk erat tubuh wanita di depanku yang masih terlihat cantik. Kami menangis bahagia. Bertiga kemudian kami bercengkrama, saling bercerita tentang masa-masa yang sulit setelah kami berpisah.

Hari itu pula aku melamarnya. Dan seminggu kemudian kami menikah. Meski pernikahan yang sangat terlambat.

***

Hari-hariku dipenuhi tawa dan canda. Lubang di hatiku telah tiada. Kebersamaan kami menjadi keberuntungan bagi Gadis. Ya…, si gadis yang kini menjadi anak tiriku memang bernama Gadis. Satu bab dalam skripsinya yang mengulas Layanan Penerimaan Negara sudah selesai. Ia ingin merampungkan bab berikutnya, yaitu paparan tentang Sejarah Mekanisme Pencairan Dana APBN.

Hari itu aku mengajak Gadis menemui seorang kawan lama. Dia seorang kontraktor yang kaya pengalaman mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Ia sangat paham dengan Mekanisme Pencairan Dana APBN.

Kami beruntung. Adiknya yang bekerja di Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan kebetulan datang berkunjung. Pria yang sudah melalang buana hampir di seluruh daerah di Nusantara itu, ikut nimbrung dalam percakapan kami. Seolah ia melengkapi informasi yang disampaikan kakaknya. Sesekali, ia mengoreksi sudut pandang kakaknya. Aku merasa, ini menjadi diskusi yang sempurna dengan dua narasumber internal dan eksternal Kementerian Keuangan. Dengan tekun kami mendengarkan penjelasan mereka. Kami hanyut dalam dimensi waktu. Satu saat kami merasa berada pada masa lampau, beberapa waktu kemudian kami kembali ke masa kini. Malah, sudut pandang kami menjadi absurd, antara dulu dan sekarang.

***

Periode sebelum 1990

Persis dengan pengalamanku yang pernah aku ceritakan kepada Gadis. Pada masa ini ada dua kantor: Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) dan Kantor Kas Negara (KKN). Satuan kerja atau instansi mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada KPN dan kemudian KPN menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). Ada bagian yang disebut carik giro SPM, yang dikirim ke KKN. Uang tunai akan dibayarkan melalui KKN. Pola pembiayaan dana APBN dikenal dengan nama Beban Tetap dan Beban Sementara.

“Hingga tahun 2000-an, kedua pola tersebut masih digunakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan APBD. Paling tidak, pada beberapa Peraturan Bupati tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban APBD yang terbit pada tahun 2006 masih menyebut kedua pola tersebut,” terang adik kawanku.

Pembayaran dengan Beban Tetap dilakukan diantaranya untuk belanja pegawai dan pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa. Sedangkan pembayaran dengan Beban Sementara biasanya dilakukan untuk keperluan operasional perkantoran atau lainnya. Detil rincian kedua pola tersebut diatur dalam surat edaran.

Pembayaran dengan beban sementara dikenal dengan istilah UUDP atau Uang Untuk Dipertanggungjawabkan.

“Bukan uang untuk dibawa pulang (UUDP),” canda adik kawanku itu.

Kami pun tertawa.

UUDP diberikan per mata anggaran (akun) yang harus dipertanggunjawabkan per akun setiap bulan, yang sisanya harus disetor ke kas negara.

Istilah UUDP sudah digunakan dalam Pasal 42 Indonesische Comptabiliteitswet Staatblads 1925 nomor 448 (Undang-Undang Perbendaharaan yang berlaku sebelum Undang-Undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

“Konsep UUDP berasumsi bahwa rencana berjalan sempurna, tidak akan meleset sedikitpun. Asumsi tersebut, diterjemahkan dengan cara menerbitkan SPM per kode mata anggaran pengeluaran (akun). Uang tunai dari pencairan SPM tersebut tidak dapat direalisasikan ke kode mata anggaran pengeluaran lainnya. Konsep ini memaksa bendahara atau pelaksana kegiatan mengikuti SPJ dan bukan SPJ mengikuti kegiatan. Konsep UUDP telah mendorong bendahara untuk memanipulasi laporan. Caranya adalah dengan melaporkan penggunaan uang sesuai permintaannya walaupun digunakan untuk keperluan lain.”

“Begitulah penjelasan seorang pejabat saat mensosialisasikan sistem baru yang dikenal dengan nama UYHD, kala itu,” ujar saudara laki-laki sahabatku itu.

***

Periode 1990 – 2004

KPN dan KKN melebur menjadi KPKN. Pola pembayaran berubah. Ada dua sistem pembayaran: UYHD dan pembayaran langsung. Munculnya sistem UYHD didasari terbitnya Keputusan Menteri Keuangan nomor 217/KMK.03/1990 tanggal 22 Pebruari 1990 yang pelaksanaannya dimulai 1 April 1990.

“UYHD itu bukan uang yang harus dihabiskan, tapi Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan,” kata adik temanku berkelakar.

Dalam Keputusan Presiden nomor 17 tahun 2000 lebih tegas lagi disebutkan bahwa mekanisme pelaksanaan APBN dilakukan dengan dua cara yaitu melalui penyediaan UYHD dan pembayaran langsung kepada yang berhak. Sedangkan petunjuk pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 531/KMK.03/2000 tanggal 21 Desember 2000 yang dituangkan kembali dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran nomor SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001.

Yang dimaksud dengan pembayaran langsung adalah KPKN melakukan pembayaran secara langsung kepada rekening pihak yang berhak dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) berdasarkan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) dari satker. Mekanisme pembayaran langsung dilakukan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa yang nilainya diatas 5 juta dan pembayaran belanja pegawai. Sedangkan pembayaran melalui penyediaan UYHD dilakukan diantaranya untuk keperluan pengadaan barang/jasa sampai dengan 5 juta untuk tiap jenis barang/jasa serta tiap penyedia barang/jasa.

Pada permulaan tahun anggaran, bendaharawan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran penyediaan dana UYHD (SPP-DU) kepada KPKN. Besarnya dana UYHD yang diminta adalah sebesar keperluan riil selama satu bulan sesuai dengan rincian rencana penggunaan dana. Kemudian, KPKN menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada bendaharawan atas beban mata anggaran khusus. Dana UYHD belum mengurangi pagu anggaran. Dana UYHD dapat digunakan untuk berbagai jenis belanja (kecuali belanja pegawai), dengan ketentuan bahwa dana UYHD belanja rutin terpisah dari dana UYHD belanja pembangunan.

“Tidak seperti sekarang, dulu dikenal pembagian antara belanja rutin dan belanja pembangunan atau proyek,” kata adik kawanku itu.

Setelah dana UYHD digunakan, baik sebagian maupun seluruhnya maka untuk mendapatkan dana UYHD lagi, bendaharawan mengajukan SPP penggantian dana UYHD (SPP-GU) kepada KPKN.

“Saya mengerjakan beberapa proyek di banyak kota. Setiap mengurus pembayaran, saya datang sendiri membawa segepok dokumen yang menjadi persyaratan lampiran SPP.” Ujar kawanku itu.

Aku sangat paham karena tak jauh berbeda dengan pengalamanku saat itu.

Lihat saja, pada setiap pengajuan SPP-GU kepada KPKN, paling tidak harus dilampiri: kuitansi atau surat pernyataan tanggung jawab belanja; fotokopi surat setoran pajak; rincian rencana pengunaan dana untuk keperluan riil satu bulan berikutnya. Apalagi untuk pengajuan SPP-LS kepada KPKN harus disertakan bukti-bukti yang sah, antara lain: kontrak pengadaan; berita acara penyerahan barang; kuitansi; surat pernyataan kepala kantor bahwa penetapan pemenang rekanan telah sesuai ketentuan dan faktur pajak.

***

Periode 2004 – 2012

Dengan terbitnya UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, pembagian kewenangan dalam pengelolaan APBN semakin jelas. Beberapa kewenangan yang sebelumnya dimiliki oleh KPKN bergeser ke setiap satker. Penjelasan runtutnya seperti ini.

Prinsip pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara melibatkan dua kelompok menteri, yaitu menteri keuangan selaku bendahara umum Negara (BUN), di satu pihak, dan menteri teknis, di pihak lain. Pembagian kewenangan tersebut diterapkan dalam lingkup kementerian/lembaga dalam pelaksanaan APBN.

Dalam lingkup yang lebih kecil, para menteri mendelegasikan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan negara di masing-masing kementerian/lembaga kepada para pembantunya sebagai pimpinan satker.

Dalam kementerian masing-masing, seorang menteri adalah pengguna anggaran, memiliki peran BUN dan juga peran menteri teknis. Dua peran inilah yang dikuasakan kepada setiap kepala satker sebagai pembantunya yang kemudian dikenal sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). KPA harus mendelegasikan kewenangan tersebut kepada masing-masing pejabat di bawahnya sesuai kaidah yang dianut dalam undang-undang bidang keuangan negara.

Oleh sebab itu, di dalam setiap satker akan terdapat Pejabat Penanda tangan SPM (PPSPM) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). PPSPM sebagai pemegang peran layaknya BUN yang akan melakukan tugas-tugas pengujian atau verifikasi. Sedangkan PPK berperan layaknya Menteri Teknis, yang melakukan pengambilan keputusan.

Dengan pola pembagian kewenangan tersebut, KPA sebagai Kepala Satker, pada hakekatnya hanya memiliki tanggungjawab dan kewenangan yang bersifat manajerial. Hal ini terkait dengan peran strukturalnya sebagai kepala satuan kerja yang secara hierarchies membawahi pejabat struktural lainnya yang tingkatannya lebih rendah.

Sementara itu, PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab terhadap terjadinya pengeluaran negara, karena berbagai keputusan yang diambilnya akan dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara.

Untuk menjaga obyektifitas dalam pengambilan keputusan, PPK dibantu oleh pejabat pengadaan atau panitia pengadaan barang dan jasa dan juga oleh pejabat penerima barang/ jasa. Untuk menjaga terselenggaranya tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan keuangan negara, keputusan PPK tersebut kemudian diuji secara substantif oleh PPSPM.

Pengujian yang dilakukan oleh PPSPM pada prinsipnya lebih bersifat administratif yang meliputi pengujian wetmatigheid, rechtmatigheid, dan doelmatigheid. Memang pengujian dimaksud akan meliputi hal-hal terkait dengan substansi yang menyebabkan terjadinya pengeluaran negara, akan tetapi pejabat PPSPM tidak pernah memiliki kewajiban untuk melakukan pengecekan apakah kontrak yang asli tersebut tidak dipalsukan, atau apakah berita acara penyerahan barang yang dijadikan dasar penagihan kepada negara tersebut memang didasarkan pada bukti penyerahan barang sesuai dengan perikatan. Ujung dari seluruh pengujian yang dilakukan oleh PPSPM tersebut adalah terbitnya Surat Perintah Membayar (SPM). Hal ini dilakukan bilamana PPSPM meyakini bahwa pembayaran tersebut memang dapat dilakukan. Keyakinan ini perlu dimiliki oleh PPSPM, karena benteng terakhir terjadinya pengeluaran negara di tingkat satker adalah PPSPM. Peran inilah yang dulu dikenal sebagai pemegang kewenangan ordonansering yang dimiliki oleh KPKN.

Kami sampai melongo mendengar penjelasan tentang pembagian kewenangan itu.

“Pada masa ini, KPKN berubah menjadi KPPN,” ujar adik temanku.

“Kok, KPPN, Om..?” Tanya Gadis.

“Bukankah, KPPN itu Koperasi Para Pegawai Negeri?”

“Ah, si Eneng, kura-kura dalam perahu atau ngeledek?” kataku.

Gadis tersipu, mukanya memerah, malu.

Periode ini adalah tonggak dimulainya reformasi birokrasi khususnya di Kementerian Keuangan yang dimulai dengan reorganisasi. Mekanisme pelaksanaan APBN mengalami perubahan menyesuaikan dengan pembagian kewenangan. Terbitlah, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2005.

“Silakan buka google, ketik PER-66/PB/2005, akan muncul tautan untuk mengunduh peraturan itu,” kata adik temanku.

Dulu, satker mengajukan SPP dan kemudian KPKN menerbitkan SPM. Sekarang, satker mengajukan SPM, lalu KPPN menerbitkan SP2D. Kewenangan ordonansering yang dulu dimiliki oleh KPKN berpindah ke tangan PPSPM di masing-masing satker.

UYHD berubah istilah menjadi UP. Pembayaran langsung, tetap. Tapi, dengan persyaratan dokumen yang tak lagi seabrek seperti jaman sebelumnya.

Seiring dengan perkembangan teknologi, lahirlah beberapa aplikasi komputer yang mendukung pelaksanaan APBN.

***

Periode 2012 – 2013

Kementerian Keuangan terus melakukan penyempurnaan mekanisme pelaksanaan APBN berdasarkan pembagian kewenangan dan perkembangan teknologi. Terbitlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 190/PMK.05/2012. Istilah UP dan pembayaran langsung tidak mengalami perubahan.

“Kebetulan di gajetku tersimpan PMK 190.”

“Nah, ini dia… transfer saja lewat bluetooth,” ujar adik temanku.

Dengan PMK ini pembagian tanggung jawab antara satker dan KPPN makin tegas. Dokumen yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab satker, tak lagi disampaikan kepada KPPN.

Sekarang, satker cukup menyampaikan SPM beserta ADK kepada KPPN. Hampir-hampir tak ada dokumen lain yang perlu dilampirkan. Paling tidak untuk SPM penggantian uang persediaan.

***

Periode 2014 – Kini

Impian pemerintah mewujudkan single database dalam pengelolaan APBN, diimplementasikan dengan pelaksanaan aplikasi SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara) di seluruh KPPN. Data pelaksanaan APBN baik penerimaan dan pengeluraan tak lagi tersebar di setiap KPPN, tetapi sudah tersentral pada database SPAN di Kantor Pusat Kementerian Keuangan di Jakarta.

Rupanya, semua perangkat teknis dan peraturan telah saling menyesuaikan. Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tetap menjadi pijakan.

Sistem kerja pencairan dana berjalan secara elektronik. Nyaris tak ada lagi dokumen yang ditandatangani. SPAN telah membagi kewenangan masing-masing.

“Istilahnya, berapapun jumlah dokumen pembayaran yang akan diterbitkan SP2D, sekali klik, selesai,” kata saudara kawanku itu.

***

Hari menjelang sore. Hampir seharian kami tekun menyimak penjelasan kedua bersaudara. Sesekali kami interupsi dengan pertanyaan dan konfirmasi.

“Ada bagian penting dalam pelaksanaan APBN, yang mana banyak orang tidak mengetahuinya, yaitu mengenai pengelolaan kas negara,” kata adik temanku itu.

“Suatu saat, akan saya jelaskan.”

“Oh, terima kasih sebelumnya,” kataku.

“Kami tahu diri, sudah waktunya kami untuk pamit.”

***

Referensi:

-http://www.keuanganpublik.com/2009/06/pembagian-kewenangan-di-antara-para.html;

-https://myepigram.wordpress.com/2011/06/19/dari-uudp-ke-uyhd-perubahan-positif-dalam-penyelenggaraan-pemerintahan;

-http://kendari.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/10/Informasi-hukum-Rp108-Miliar-APBD-Bombana-Tak-Terpakai-11.pdf;

-Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran nomor SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001;

-Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2005;

-Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012.

Kelebihan Setoran Pajak

Beberapa minggu lalu saya menerima 2 tamu dengan selang waktu antara tamu pertama dan kedua kira-kira 2 minggu. Tapi dengan permasalahan yang sama. Kelebihan setoran pajak.

Tamu pertama dari SKPD setempat. Setelah menyetor pajak PPN dan PPh dengan menggunakan billing, beberapa waktu kemudian dan setelah dihitung kembali, ternyata pajak yang ia setor terlalu banyak dari jumlah yang seharusnya disetor. Kalau ditotal sekitar 1 jutaan. Mereka datang untuk meminta solusi agar kelebihan setoran pajak tersebut bisa diminta kembali. Dari cerita yang disampaikan, saya kira murni karena salah hitung pajak. Jadi kesalahan ada pada SKPD atau si bendahara.

Saya memberikan dua solusi: pertama, saya konsisten dengan tulisan saya sebelumnya bahwa kelebihan pajak dapat dikompensasi untuk setoran berikutnya (saya tidak tahu apakah solusi tersebut bisa diterima oleh pihak DJP, logika saya mengatakan seharusnya bisa). Apalagi dengan system billing, dimana tak ada lagi uraian pembayaran. Yang penting untuk jenis pajak atau kode akun yang sama. Berikut link tulisan itu: https://mpng2.wordpress.com/2015/05/29/tak-ada-uraian-pembayaran-kompensasi-pun-jadi/.

Solusi kedua, saya menyarankan untuk berkonsultasi ke Kantor Pajak setempat. Bagaimana detil solusinya, saya enggan untuk mengurai lebih panjang. Yang jelas, kelebihan pajak tersebut akan diselesaikan dengan mekanisme SPM-KP, tapi dengan didahului pemeriksaan dan penelitian. Saya kira kantor pajak tidak akan sertamerta menerbitkan SPM-KP. Dalam hal ini, tentu akan membutuhkan waktu yang relatif lama. Dan saya sudah mewanti-wanti ke SKPD tersebut untuk bersabar soal waktu.

Berikutnya tamu kedua, masih juga dari SKPD setempat. Alkisah, orang ini sudah tahu kejadian yang menimpa SKPD sebelumnya soal kelebihan setor pajak. Katanya, dalam hati ia berujar, gak mungkinlah terjadi pada dirinya.

Pada suatu malam, ia membuat kode billing untuk setoran pajak senilai Rp.60.000,-. Selesai cetak billing dan tanpa memeriksa kembali, pulanglah ia ke rumah untuk istirahat. Besoknya ia ke bank untuk menyetor pajak. Ia serahkan kode billing, tanpa menelitinya kembali. Teller langsung mengeksekusi dan terbitlah BPN. Rupanya bendahara tadi belum menyerahkan uang. Dan ketika teller meminta uang, ia kaget setengah mati mendengar kata 6 juta. Ternyata, nilai yang tertulis dalam cetakan billing adalah 6 juta, bukan Rp.60.000,-.

Untuk beberapa waktu ia tertegun, gusar dan tidak percaya. Ia pun menolak untuk membayar 6 juta. Oleh pihak bank kemudian disarankan datang ke kantor saya. Dan terjadilah pertemuan itu.

Atas kasus kedua tersebut, saya memberikan solusi yang sama dengan kasus pertama. Kompensasi atau silakan ke kantor pajak.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menganalisis kasus kedua.

Pertama, hal tersebut menjadi kesalahan penyetor atau bendahara karena kurang teliti saat membuat kode billing. Banyak penyebabnya. Entah karena dibuat di malam hari, mati lampu, atau karena capek, banyak kerjaan. Atau barangkali banyak pikiran karena istrinya menuntut dibelikan tas Hermes. Atau jangan-jangan di ruang kerjanya ada hantu yang ikut nimbrung nambahin angka 0.

Kedua, ini juga menjadi kesalahan pihak bank. Mengapa? Mari kita lihat ketentuannya.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik, disebutkan bahwa dalam hal transaksi Penerimaan Negara dilakukan melalui sarana layanan Penerimaan Negara dalam bentuk loket/teller (over the counter) pada Bank Persepsi, Bank Pesepsi wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: menginput Kode Billing yang diberikan Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor ke dalam sistem aplikasi pembayaran untuk memperoleh informasi detail pembayaran; melakukan konfirmasi kebenaran data setoran kepada Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor; dan mencetak dan memberikan BPN yang ditera NTB/NTP dan NTPN kepada Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor.

Nah, coba perhatikan poin 2 tersebut, baca dengan seksama: “melakukan konfirmasi kebenaran data setoran kepada Wajib Pajak”. Dengan gambaran kejadian pada kasus kedua diatas kita bisa duga pihak bank atau teller lalai tidak melakukan konfirmasi kebenaran data setoran.

Ya sudahlah, barang sudah terjadi. Ada pelajaran yang bisa kita petik agar lebih berhati-hati.

Jadi, karena dengan MPN G2, bank tidak bisa melakukan reversal atau membatalkan transaksi, maka sebaiknya ikutilah prosedur diatas. Atau mungkin saja, bank bisa langsung kontak dengan bank pusatnya untuk membatalkan transaksi tersebut. Barangkali, jika dana belum dilimpahkan, bank pusat masih bisa men-cancel transaksi tersebut. Ini hanya kira-kira, saya tak tahu pasti.

***

Kutipan-Kutipan tentang MPN G2

“Pembayaran tidak hanya dapat dilakukan dengan menggunakan jasa teller, namun juga dapat menggunakan fasilitas lain seperti Electronic Data Capture (EDC), internet banking, maupun ATM. Diharapkan kedepannya tidak ada lagi hambatan berupa jam dan waktu layanan, sehingga semakin memudahkan masyarakat dalam menunaikan kewajibannya kepada Negara.”

(Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan)

http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pilih=news&aksi=lihat&id=3442

“Dukungan seluruh pihak perbankan, kementerian/lembaga, BUMN, dan masyarakat secara umum sangat dibutuhkan agar implementasi MPN G2 dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pencapaian target penerimaan Negara.”

(Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan)

http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pilih=news&aksi=lihat&id=3442

“Penerapan MPN G2 ini merupakan langkah pertama untuk mencapai peningkatan pajak yang sangat besar. Diharapkan target pendapatan negara dari sektor pajak yang meningkat sangat signifikan sebesar 30% atau sekitar 300an Trilyun dari tahun 2014 dapat segera tercapai.”

(Gus Irawan Pasaribu, Wakil Ketua Komisi XI DPR)

http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pilih=news&aksi=lihat&id=3442

“Penyempurnaan MPN G2 meliputi perubahan dari sistem manual menjadi electronic billing system, dari layanan over the counter/teller ke layanan online, dari single currency menjadi dapat melayani dalam multi currency, dari terbatas hanya beberapa jenis penerimaan menjadi mencakup keseluruhan penerimaan.”

(Marwanto Harjowiryono, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan)

http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=1038

“Pembayaran setoran penerimaan negara dapat dilakukan masyarakat baik nasabah maupun nonnasabah melalui 249 cabang BNI Syariah.”

(Dinno Indiano, Presiden Direktur BNI Syariah)

http://www.varia.id/2015/03/02/bayar-pajak-lewat-mpn-g2-di-bni-syariah/

“Keikutsertaan bankjatim dalam program ini selain untuk mensukseskan program Pemerintah dalam peningkatan kualitas sistem layanan di bidang penerimaan Negara, juga sekaligus upaya bankjatim dalam memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi bagi para nasabah,”

(Revi Adiana Silawati Pemimpin Divisi Dana Jasa & Luar Negeri bankjatim)

https://www.bankjatim.co.id/id/informasi/berita/bayar-pajak-dengan-sistem-mpn-g2-kini-semakin-mudah-dengan-layanan-bank-jatim

“Masyarakat bisa menggunakan layanan teller di kantor cabang BNI, ATM BNI atau internet banking BNI hanya dengan menyebutkan atau menginput ID atau kode identifikasi billing pada salah satu layanan tersebut, maka akan keluar nominal yang harus dibayarkan beserta identitas wajib pajak, wajib bayar atau wajib setor.”

(Sri Indira, Vice President Divisi Jasa Transaksional Perbankan BNI)

http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/06/27/bayar-pajak-lebih-mudah-bni-sediakan-fasilitas-e-billing?page=2

***